Jakarta, 8/8 (ANTARA News) - Asosiasi Semen Indonesia (ASI) mengharapkan pemerintah memberikan insentif berupa tax holiday atau diskon bunga bank untuk investasi, bagi industri yang berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Ketua ASI Widodo Santoso saat Diskusi Pojok Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Jakarta, Rabu menuturkan sejumlah industri semen di Indonesia telah menurunkan emisi GRK dalam proses produksi sebagai dampak dari praktik pasar karbon.
"Beberapa proyek penurunan emisi di industri semen juga telah mengikuti clean development mechanism (CDM), namun kebanyakan tidak diteruskan keikutsertaannya karena harga karbon internasional yang rendah," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya berharap, pemerintah bisa memberi insentif bagi industri yang telah berhasil menurunkan emisi GRK berupa tax holiday atau diskon bunga bank untuk investasi.
Widodo juga menyampaikan bahwa data emisi industri semen sudah sangat baik sehingga dalam hal ini sudah siap untuk berdagang emisi dengan sektor lain.
Hal senada dinyatakan Joseph Hwang dari Gikoko Kogyo yang menyampaikan pengalamannya mengembangkan kegiatan mitigasi perubahan iklim di sektor pengelolaan sampah menjadi biogas di bawah CDM yang akhirnya tidak dapat berjalan karena harga karbon yang rendah.
Dia menegaskan bahwa pengelolaan sampah domestik saat tidak dapat berjalan tanpa insentif, baik yang berasal dari pasar karbon ataupun skema lainnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kementerian Keuangan Parjiono menjelaskan pemerintah saat ini sedang merancang badan layanan umum (BLU) sebagai akselerator pendanaan lingkungan hidup termasuk aksi mitigasi perubahan iklim.
BLU tersebut merupakan amanah dari Peraturan Pemerintah (PP) No 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, lanjutnya, dan rancangannya sedang dalam pembahasan.
Parjiono menyatakan, pada 2017 terdapat Rp81,7 triliun anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk kegiatan terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Namun, dia menekankan, pendanaan perubahan iklim yang bersumber dari dana publik sangat terbatas, mungkin hanya mencukupi untuk 30-40 persen dari biaya pencapaian target NDC.
"Untuk itu, sumber-sumber pendanaan lain perlu diakselerasi termasuk yang digalang dari instrumen pasar karbon baik domestik maupun internasional," katanya.
Sebelumnya, Penasihat Senior Menteri LHK Nur Masripatin menyatakan pasar karbon tetap bisa menjadi sumber pendanaan untuk mendukung pengurangan emisi GRK di Indonesia di bawah payung kesepakatan pengendalian perubahan iklim global, Persetujuan Paris.
Ia menelaskan, berdasarkan Persetujuan Paris, setiap negara sudah mendaftarkan dokumen kontribusi nasional yang diniatkan (nationally determined contribution/NDC) dalam pengendalian perubahan iklim global.
Namun dari dokumen yang telah didaftarkan, masih ada kesenjangan dengan target yang dibutuhkan untuk menjaga kenaikan suhu bumi kurang dari dua derajat dari masa prarevolusi industri.
"Pasar karbon bisa menjadi salah satu instrumen mengisi celah tersebut," katanya.
Menurut dia, ruang bagi pasar karbon yang tetap terbuka juga tak lepas dari perlu didorongnya peran aktor di luar negara (non state actors), seperti swasta dan pemerintah daerah untuk berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim.
Baca juga: Pemerintah Indonesia berkomitmen terus tanggulangi perubahan iklim
Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2018