Brisbane (ANTARA News) - Indonesia perlu mengikuti langkah negara-negara maju, seperti Australia, dalam menyelamatkan generasi muda dari pengaruh negatif siaran-siaran televisi melalui penguatan institusi komisi penyiaran serta keluarga. Pendapat itu mengemuka dalam pengajian Jumat malam Perhimpunan Masyarakat Muslim Indonesia di Brisbane (IISB) yang membahas masalah pendidikan seks dan hak reproduksi dari perspektif Islam. Dalam diskusi yang menghadirkan pembicara Dr. Salut Muhiddin itu, Dosen IAIN Sunan Ampel yang juga mahasiswa doktoral Universitas Queensland (UQ), Akhmad Muzakki, berpendapat dalam Islam, pendidikan seks itu tidak hanya menyangkut soal "pengemasan materi". Yang tak kalah pentingnya adalah juga bagaimana negara dapat menyelamatkan rakyat, khususnya generasi muda, dari pengaruh-pengaruh negatif media. "Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seharusnya diberi otoritas untuk menghukum stasiun televisi yang menayangkan acara tak senonoh di `prime time` yang dapat disaksikan penonton dari segala umur, dan kita tampaknya harus belajar dari Australia karena komisi penyiaran mereka memiliki otoritas untuk menghukum stasiun televisi televisi di sini," katanya. Di Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim, kondisinya justru ironis karena pelanggaran demi pelanggaran sering terjadi di "ruang publik" tanpa sanksi yang menjerakan, kata Akhmad Muzakki. "Sudah saatnya KPI diberi kewenangan yang tidak terbatas, tak hanya pada membuat regulasi, tetapi juga memiliki kekuatan untuk mengeksekusi supaya publik di Tanah Air dapat diselamatkan dari produk-produk kapitalisasi yang terus membanjiri pasar kita," katanya. Australia, lanjut Akhmad Muzakki, tidak hanya memiliki komisi penyiaran yang kuat, pemerintah federalnya pun turun tangan dalam memperkuat institusi keluarga untuk menyelamatkan generasi muda negara itu dari pengaruh negatif Internet misalnya. Sementara itu, dalam pemaparannya, Dr. Salut Muhiddin menyatakan pendidikan seks dari perspektif Islam selalu didasarkan pada argumentasi bahwa "segala sesuatu harus berdasarkan tatanan Allah SWT", sedangkan konsep sekuler cenderung mendasarkan pendidikan seks itu pada "kebutuhan" dan "tanggungjawab". Namun, berbeda dengan pengalaman Australia dan sejumlah negara maju lainnya yang telah memasukkan pendidikan seks dalam kurikulum pendidikannya, di Indonesia, pendidikan seks lebih banyak diberikan secara informal melalui kegiatan-kegiatan seperti lokakarya maupun diskusi, kata Salut, yang menjadikan buku "Sexuality in Islam" karya Abdulwabah Bouhdiba sebagai salah satu rujukannya dalam membahas topik ini. (*)
Copyright © ANTARA 2007