"Sebanyak 92 persen responden sudah proaktif dalam mencari informasi mengenai perpajakan. Sebanyak 90 persen responden juga mengaku bahwa mereka sudah patuh," kata Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo dalam acara "Rembuk Pajak" di Gedung Dhanapala, Jakarta, Senin malam.
Survei tersebut dilaksanakan dalam jaringan (online) pada 6-30 Juni 2018 dengan melibatkan 1.926 wajib pajak sebagai responden. Survei ini bertujuan menggali pandangan wajib pajak tentang kepatuhan,keadilan, dan efisiensi pelayanan pajak. Responden adalah para CEO BUMN, swasta, dan pemilik usaha yang berasal dari 30 provinsi.
Hasil survei menyimpulkan inisiatif membayar sudah cukup tinggi terutama dalam hal mencari informasi terkait pajak, berkonsultasi, dan mengalokasikan dana untuk pajak. Namun, kepatuhan tersebut ternyata bersyarat.
Misalnya, sebagian besar responden akan melaporkan SPT dan membayar pajak dengan jujur apabila sistem politik demokratis dan adanya transparansi publik dalam alokasi penggunaan dana pajak.
"Sebagian besar responden menilai transparansi alokasi dana pajak, sistem demokratis, dan proses pemeriksaan menjadi faktor sosial paling berpengaruh," ujar Yustinus.
Hasil survei juga menunjukkan kurang lebih 50 persen perusahaan menganggap pajak belum adil dalam hal besaran manfaat yang diterima dibanding jumlah pajak yang dibayarkan.
Secara umum, pemahaman terhadap penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak (tax evasion) juga cukup baik. Sebagian besar perusahaan memahami bahwa penghindaran pajak tidak boleh dilakukan, serta tidak boleh mencurangi jumlah besaran pajak.
"Kurang lebih 90 persen responden menganggap bahwa praktik `tax avoidance` dan `tax evasion` merupakan tindakan yang negatif," kata Yustinus.
Namun, hasil survei juga menunjukkan sepertiga perusahaan yang tidak sepakat mengenai upaya kantor pajak dalam mengurangi penggelapan pajak.
Baca juga: Jajaran wajib pajak besar penerima penghargaan pemerintah
Pewarta: Roberto Calvinantya Basuki
Editor: Apep Suhendar
Copyright © ANTARA 2018