Cirebon (ANTARA News) - KH Abdullah Abbas (Dulloh) yang selalu terlontar dalam setiap menerima tamu sejumlah pejabat, politukus dan mahasiswa adalah persatuan bangsa, peningkatan pendidikan dan taraf ekonomi rakyat, kata Nemi Mu`tasim Billah (29), cucu KH Abdullah Abbas.
"Wasiat pertama selalu meminta dijaga persatuan bangsa dan persatuan umat, kedua diminta untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan ketiga adalah amanat agar terus memperbaiki ekonomi rakyat," katanya kepada wartawan menjelang pemakaman Kyai Karismatik dari Buntet Pesantren, Jumat.
Ia mengatakan, Kyai Dolloh, panggilah akrab KH Abdullah Abbas tidak pernah membeda-bedakan tamu apakah tua atau muda, pejabat atau bukan sehingga menjadi tumpuan mahasiswa untuk berdiskusi tentang berbagai hal.
"Kyai selalu menghargai perbedaan pendapat, tetapi mempunyai argumen yang kuat untuk melontarkan pendapat atau nasehat, sehingga banyak pejabat ingin mendapat nasehat dari beliau," katanya.
Hal senada dikatakan H Munib Rowandi Amsal Hadi, pengelola Buletin Buntet Pesantren bahwa, tahun 1950 usai revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan dimana Kyai Dulloh ikut terlibat langsung, Buntet Pesantren dikembangkan berbagai sarana pendidikan modern karena ingin meningkatkan taraf pendidikan masyarakat di sekitar pesantren.
Saat ini sudah berdiri Madrasah Ibtidaiyah Putra dan Putri, Madrasah Tsanawiyah (MTs) NU Putra 1 dan MTs NU Putra 2 dan MTs Putri, Madrasah Aliyah (MA) NU Putra, MA NU Putri, Akademi Keperawatan, serta Lembaga Bahasa dan Ketrampilan.
Berkaitan dengan isu ulama masuk dunia politik, menurut H Munib, Kyai Dulloh juga mempunyai pendapat moderat bahwa sangat wajar jika ulama ikut terjun di dunia politik tetapi hanya boleh dijalankan demi kemaslahatan umat dan bangsa.
"Ulama itu kaum terdidik. Wajar kalau mereka terjun ke dunia politik guna kemaslahatan umat dan bangsa. Jangan untuk ambisi pribadi," katanya menirupan ucapan Kyai saat berdiskusi dengan santri.
Ia juga mengungkapkan, Kyai Dulloh adalah satu-satunya anak Kiai Abbas yang ikut memimpin dalam berbagai pertempuran melawan penjajah Belanda antara lain di Surabaya, Sidoarjo, Tanjung Priok dan Cikampek.
"Kiai Abdullah Abbas aktif menjadi pasukan Hisbullah, bahkan menjadi Kepala Staf Batalyon Hisbullah. Beliau juga menjadi anggota Batalyon 315/Teritorial Siliwangi dengan pangkat Letnan Muda," katanya.
Pada masa perjuangan melawan Belanda itulah, menurut Munib, banyak pejuang yang meminta ilmu kebal senjata kepada Ki Dulloh dalam melawan senjata Belanda yang lebih lengkap.
Kyai yang mempunyai 11 anak itu, pernah berguru kepada Kyai Ma`shum di Ponpes Lasem, Rembang, dan kepada KH Hasyim Asy`ari dan terakhir berguru pada KH Abdul Karim Manaf di Ponpes Lirboyo.
Seperti diberitakan sebelumnya, KH Abdullah Abbas (83), sesepuh Pondok Buntet Pesantren, Kabupaten Cirebon, meninggal di Rumah Sakit Ciremai, Jumat pagi sekitar pukul 04.15 WIB setelah dirawat di rumah sakit tersebut sejak 8 Juli 2007 lalu.
Kyai karismatik yang juga Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu meninggal karena usia yang sudah tua dan informasi terakhir mengalami penurunan kadar hemoglobin (Hb).
Ribuan orang mengiringi kepergiannya Jumat siang menuju TPU Gajang Ngambung di Desa Buntet, Astana Japura, Kabupaten Cirebon sekitar 800 meter dari rumah duka. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007