Banda Aceh (ANTARA News) - Anggota DPR RI, M Nasir Djamil minta kepada aparat kepolisian dan pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk segera membebaskan wilayah itu dari aksi "premanisme" bersenjata api agar memberi rasa aman bagi setiap orang berinvestasi. "Tugas prioritas yang tak kalah penting untuk menciptakan kenyamanan berinvestasi adalah menurunkan angka kriminal terutama kejahatan bersenjata api karena kondisi itu sangat mengganggu investasi," katanya kepada ANTARA News di Banda Aceh, Kamis. Hal itu disampaikan menanggapi dua tahun perjanjian damai (MoU) Helsinki yang ditandatangani Pemerintah dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Finlandia, 15 Agustus 2005. Ia mengatakan pasca-MoU Helsinki, kontak senjata di Aceh memang tidak ada lagi dan masyarakat mulai merasakan hidup damai berdampingan, namun angka kriminal termasuk kejahatan bersenjata api masih tinggi. Untuk memberantas kejahatan bersenjata api, seperti kasus perampokan dan penembakan di beberapa tempat di Aceh itu harus segera dihentikan. "Peran Polri untuk meningkatkan operasi atau razia senjata api harus lebih gencar, sehingga dapat dipastikan di Aceh tidak ada lagi premanisme bersenjata. Peningkatan razia polisi itu harus mampu meyakinkan publik bahwa tidak ada lagi senjata api ilegal beredar di Aceh," tambahnya. Kalau peredaran senjata ilegal tidak dapat diputuskan, Nasir Djamil menyatakan pekerjaan pemerintah menjaring investasi khususnya dari luar negeri akan sia-sia. "Logikanya, apakah investor mau menanamkan investasinya jika memang di daerah tersebut tidak aman dan nyaman, apalagi pengusaha asing," ujarnya. Pada bagian lain, Nasir yang juga anggota Komisi II DPR RI menyatakan menjelang dua tahun MoU Helsinki, maka Pemerintah telah membentuk Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK) sebagai pengganti misi pemantau Aceh (Aceh Monitoring Mission/AMM). "Jadi instrumen pengganti AMM itu telah dibentuk FKK. Tetapi FKK tampaknya kurang disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat, sehingga sebagian besar penduduk tidak mengetahui kerja dan fungsi dari FKK tersebut," kata dia. Padahal, salah satu fungsi dan tugas dari FKK itu adalah untuk meninjau perkembangan dari MoU Helsinki. Karena itu FKK diharapkan bekerja optimal dalam mengawal proses perdamaian di Aceh, tambahnya. "FKK juga berperan meninjau kembali apakah keberadaan Polri yang jumlahnya terikat dengan MoU sudah mampu mengatasi meningkatnya angka kriminalitas di Aceh. Kita harus melihat secara jernih persoalan di lapangan bahwa penegakan hukum terkendala akibat tidak sebandingnya jumlah personel Polri dengan penduduk," kata Nasir Djamil. Sebab, tambahnya, dalam MoU Helsinki telah ditetapkan jumlah Polri kurang dari 10 ribu orang. "Kekuatan polisi itu jelas tidak sebanding dengan jumlah penduduk sekitar 4,2 juta jiwa dan cakupan wilayah yang sangat luas," demikian kata Nasir.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007