Jakarta (ANTARA News) - Akademisi asing menilai reformasi birokrasi di Indonesia berjalan lamban akibat keberadaan kelompok "Orde Baru" yang dirugikan oleh reformasi, beberapa di antaranya berada di dalam parlemen sebagai lembaga pengambil keputusan.
"Beberapa menjadi anggota parlemen, atau disuap oleh beberapa kelompok tertentu demi kepentingan mereka, dan beberapa menjadi anggota pemerintahan," kata Profesor Tim Lankester dari Oxford University di Jakarta, Kamis.
Menurutnya, hal lain yang menyebabkan kesulitan reformasi birokrasi adalah masalah "mind-set" dan sikap.
"Namun demikian, Indonesia kini memiliki banyak faktor pendorong, yaitu presiden dan menteri-menteri yang pro reformasi, kelompok masyarakat yang semakin proaktif, serta media," katanya.
Meski terlihat lamban pada sisi output, Profesor Lankester menilai kemajuan yang dicapai Indonesia sangat signifikan, terutama dari sisi upaya untuk melakukan reformasi tersebut.
Ditanya tentang perubahan sistem remunerasi untuk mendukung reformasi birokrasi seperti yang ramai dibicarakan saat ini, Profesor Lankester menjelaskan hal itu tidak diperlukan selama pemerintah memiliki keinginan kuat untuk melakukan itu.
Dia mencontohkan, China dan Rusia sebagai salah satu negara yang mencatat reformasi birokrasasi yang cepat di dunia, tanpa harus menaikkan upah pekerja.
Sementara itu, menurut survei terakhir yang dilakukan Bank Dunia pada Juli 2007, tata kelola pemerintahan di Indonesia belum berhasil mencapai situasi seperti sebelum krisis ekonomi 1997.
Dari seluruh aspek tata kelola pemerintahan dibanding dengan pemerintahan lain di dunia, hanya aspek kebebasan bersuara dan akuntabilitas yang tercatat lebih baik dengan nilai 41,3 persen pada 2006 dibanding 15,8 persen pada 1996.
Sedangkan lima aspek lainnya, yaitu kestabilan politik, efektifitas pemerintahan, kualitas peraturan, peranan aspek hukum, dan kontrol korupsi, pemerintahan saat ini masih belum berhasil menyamai atau bahkan melewati kondisi pada era Orde Baru.
Pada 2006, kestabilan politik hanya mencatat 14,9 persen, efektifitas pemerintahan 40,8 persen, kualitas peraturan 43,4 persen, peranan aspek hukum 23,3 persen, dan kontrol korupsi 23,3 persen.
Sementara pada 1996, kestabilan politik berhasil mencatat 21,6 persen, efektifitas pemerintahan 64,8 persen, kualitas peraturan 63,9 persen, peranan aspek hukum 39,5 persen, dan kontrol korupsi 31,1 persen.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007