Depok (ANTARA News) - Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National Policy Studies (CINAPS) Guspiabri Sumowigeno menegaskan penandatanganan kerjasama pertahanan RI-Singapura atau Defence Cooperation Agreement (DCA), merupakan ambisi Singapura untuk menjadi polisi di kawasan regional (Asia Tenggara)."Secara sistematik Singapura memang menyiapkan langkah-langkah ke arah tersebut. Terlihat dari dukungannya pada politik global AS dan pembangunan militernya yang jauh di atas kebutuhan obyektif," kata Guspiabri di Depok, Rabu.Ia mengatakan manuver Singapura yang nampak all out, termasuk datangnya mantan PM Lee Kwan Yew, untuk meminta fasilitas latihan militer yang istimewa di wilayah-wilayah strategis RI adalah dalam rangka meningkatkan posisi tawar Singapura secara politik dan militer di kawasan Asia Tenggara."Kita tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa manuver Singapura adalah atas instruksi Amerika Serikat (AS)," jelasnya. Dalam hal munculnya militer Singapura sebagai "polisi" regional, AS hanya bersikap pragmatis, dengan mendukung proposal yang paling siap dan bisa diandalkan. Dikatakannya, proposal untuk menjadi "polisi" regional tersebut kemudian ditawarkan pada AS, yang kemudian AS memberikan lampu hijau serta sejumlah kompensasi. Menurut dia, Indonesia tidak pernah tampak berambisi untuk menjadi kekuatan politik dan militer di tingkat regional. Akibatnya AS dan negara-negara lain yang kehidupannya tergantung pada lalu lintas barang di Selat Malaka dan Laut China Selatan mencari alternatif lain untuk mengisi kekosongan kekuasaan dan Singapura datang menawarkan proposalnya. Dengan fasilitas kavling tetap untuk latihan militer yang diberikan dalam DCA, yaitu pesisir timur Pulau Sumatera dan Kepulauan Natuna, jelas telah memberikan pijakan geografis pada Singapura, untuk mewujudkan dirinya secara de facto sebagai "polisi" yang efektif mengontrol kawasan jantung Asia Tenggara, jalur laut lalu lintas perdagangan yang volumenya terus meningkat tersebut. "DCA memberikan ijin yang tersamar bagi terselenggaranya patroli militer Singapura di wilayah strategis Selat Malaka dan Laut China Selatan," jelasnya. Mungkin tadinya, kata Guspi, Malaysia yang potensi militer, politik dan geografisnya relatif setara dengan Singapura juga menawarkan dirinya pada AS untuk menempati posisi polisi kawasan tersebut, karena itu Malaysia tak memberi fasilitas pada militer Singapura seperti pada pola DCA dengan RI. Dengan ditandatanganinya perjanjian DCA RI-Singapura, maka Singapura memenangkan "tender" kontrol atas Selat Malaka dan laut China Selatan. Sebanyak 40 persen lalu lintas perdagangan dunia melalui jalur ini. "AS, Jepang, Korea Selatan, Taiwan jelas memerlukan mitra yang dapat mengontrol secara efektif Selat Malaka dan Laut China Selatan untuk menjamin kelangsungan perekonomiannya," ujarnya. Menurut dia, AS memang ingin ada negara yang dapat bertindak sebagai polisi di tiap titik penting untuk menanggulangi potensi krisis akibat kegiatan jaringan terorisme dan kriminalitas lintas negara. "Bayangkan misalnya jika ada kapal pengangkut uranium milik Jepang dibajak di Selat Malaka, siapa yang akan menyelesaikan," tanya Guspi. Kebijakan mencari mitra militer ini untuk mengurangi beban AS sendiri. Prinsipnya, harus ada kekuatan yang mengontrol dan seketika dapat digerakkan untuk mengakhiri krisis. Di sisi lain, secara politik, dikontrolnya Selat Malaka dan Laut China Selatan oleh Singapura adalah pararel dengan agenda politik AS lainnya yaitu mengurung RRC dan mengawasi jalur pasok energi dan industri untuk melemahkannya. Karena itu RRC mati-matian mempertahankan pengaruhnya di Myanmar agar jika terjadi gangguan di Selat Malaka dan Laut China Selatan oleh kekuatan anti RRC jalur pasokan tetap dapat masuk lewat Myanmar. Dengan dimensi luas wilayah, jumlah penduduk dan potensi ekonominya, sebenarnya posisi "polisi" regional dan pimpinan kawasan pemegang hegemoni dan penjamin stabilitas di Asia Tenggara adalah Indonesia. Tapi elite politik Indonesia pasca era Presiden Soekarno terlalu naif dalam mengikuti dinamika permainan politik global dan mengambil tanggungjawab keamanan, kata Guspi.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007