Sekarang mereka akan direlokasi dan kami sangat keberatan dengan hal ini. Bagaimana kita bisa mencabut mereka dari tanah leluhurnya, dari identitasnya, ini sama saja kita menghapus sejarah tentang mereka.

Jakarta, (ANTARA News) - Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Lenny Patti dihubungi dari Jakarta, Minggu, mengatakan masyarakat atau Suku Mausu Ane hidup berdampingan dan menjadi penjaga hutan Pulau Seram karenanya tidak seharusnya direlokasi.

"Mereka memang hidup di hutan selama ini, jauh dari pemukiman penduduk. Mereka kekurangan bahan makanan karena gagal panen jagung, singkong, talas dan ubi jalar akibat hama tikus dan babi yang menyerang kebun mereka," kata Lenny.

Masyarakat Suku Mausu Ane di Desa Maneo Rendah, Seram Utara, Kecamatan Timur Kobi, wilayah petuanan Negeri Maneo Rendah yang hidup di pegunungan Morkelle tersebar pada tiga titik permukiman sebanyak 48 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 200 jiwa. Jumlah yang meninggal karena kekurangan bahan makanan mencapai empat orang di mana dua merupakan lansia dan dua lainnya merupakan balita.

Menurut dia, jika kenyataannya masyarakat di sana kelaparan seperti yang banyak diberitakan sebelumnya seharusnya semua akan turun gunung, tapi ini hanya sebagian saja yang mau.

Ini, lanjut Lenny, karena semua orang di Maluku tahu jika Pulau Seram itu tanah yang subur dibandingkan dengan Pulau Saparua yang lebih banyak karangnya sehingga sulit sekali masyarakat bercocok tanam. "Jadi begitu berita soal kelaparan ini ramai tentu saja semua orang bertanya-tanya kenapa bisa seperti ini".

"Sekarang mereka akan direlokasi dan kami sangat keberatan dengan hal ini. Bagaimana kita bisa mencabut mereka dari tanah leluhurnya, dari identitasnya, ini sama saja kita menghapus sejarah tentang mereka," ujar dia.

Ia mengatakan pemerintah seharusnya tidak langsung merelokasi tetapi terlebih dulu melakukan pendampingan pada mereka. Gagal panen yang terjadi merupakan buntut panjang dari kebakaran hutan pada 2015, yang membuat tanaman menjadi sulit tumbuh.

Sebelumnya Pengurus Besar Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) bersama AMAN Wilayah Maluku pada Rabu (25/7), menyatakan penolakan rencana relokasi masyarakat Mausu Ane yang merupakan suku pedalaman di Seram Utara.

Dalam pokok pikiran penolakan mereka disebutkan bahwa petuanan Seram Utara adalah rumah bersama bagi masyarakat yang menetap di sana. Sehingga masyarakat yang hidup di atasnya adalah warisan leluhur yang harus dijaga dan dikelola untuk masa depan masing-masing.

Masalah kekurangan bahan makanan yang terjadi disebabkan tanaman-tanaman pada lahan perkebunan tradisional mereka diserang hama babi dan tikus salah satu penyebabnya adalah kebakaran hutan tahun 2015 yang menghanguskan semua tanaman kayu dan bambu di hutan sekitar pemukiman mereka. Kayu dan bambu yang biasanya digunakan untuk membuat pagar untuk melindungi kebun mereka sangat minim diperoleh, sehingga mereka hanya bisa memanfaatkan kayu-kayu kecil namun tidak bisa melindungi tanaman mereka.

Rencana relokasi untuk seluruh masyarakat di Seram Utara yang terkena imbas kebakaran hutan sebelumnya juga telah disampaikan Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah pada 2015, namun masyarakat menolaknya. Ini karena mereka merupakan masyarakat suku pedalaman yang secara turun-temurun hidup dan menyatu dengan hutan di wilayah pertuanannya.

Pengalaman relokasi masyarakat Huaulu telah menjadi masalah dan membuktikan bahwa meraka tidak akan bertahan hidup di rumah dan wilayah yang baru seperti transmigrasi, sebab hidup mereka adalah di hutan dan menyatu dengan alam.

Karena Pengurus Besar AMGPM dan AMAN Wilayah Maluku meminta agar pemerintah melakukan pendampingan dan mencarikan solusi teknologi sederhana mengatasi hama tersebut, bukan melakukan relokasi untuk Suku Mausu Ane.

Pewarta: Virna Puspa S
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018