"MK dalam menjalankan kewenangannya diwajibkan untuk tunduk, patuh dan mengikatkan diri kepada supremasi hukum. Karena supremasi itu UUD 1945 bukan lembaga MK, sehingga tidak bisa dan tidak dibenarkan para hakim MK membuat penafsiran bebas atas subtansi pasal-pasal UUD 1945, termasuk soal masa jabatan Presiden/Wapres," jelas Agun di Jakarta, Sabtu.
Agun mengatakan dalam hal masa jabatan presiden/wapres, MK sepatutnya tetap berpegang pada pasal 7 UUD 1945.
Bunyi pasal tersebut sebelum dilakukan perubahan adalah Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Kemudian bunyi pasal itu diubah menjadi presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Baca juga: Pembatasan jabatan presiden-wapres cegah kekuasaan terkonsentrasi
Untuk mendalami aturan pasal 7 yang sudah diubah tersebut, kata Agun, harus dibaca kembali buku Risalah Perubahan UUD 1945, tahun sidang 1999 yang diterbitkan Sektetariat Jenderal MPR RI Tahun 2008.
"Saat itu saya sebagai salah seorang anggota tim penyusun. Didapatkan kejelasan bahwa yang dimaksud oleh rumusan pasal 7 tersebut, harus dimaknai baik berturut-turut maupun tidak. Jadi presiden maupun wakil presiden dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk sekali masa jabatan, artinya hanya dua kali, baik berturut-turut atapun tidak berturut-turut," kata Agun.
Dia menekankan proses hukum uji materi yang dilayangkan semua pihak harus dihargai, namun UUD 1945 sebagai supremasi hukum harus berada diatas segalanya dan ditaati bagi seluruh penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif serta setiap warga negara.
Baca juga: Jakob Tobing: Pembatasan masa jabatan presiden-wapres spirit reformasi
Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018