Akibat korupsi merebak di penjara, muncul persepsi negatif, sepanjang ada uang, apa saja bisa disediakan di penjara.

Jakarta, (ANTARA News) - Tiada kapoknya kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi. Mungkin itu kalimat yang akan biasa terlontarkan dari publik.

Memang demikian, potret penguasa daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sudah tidak ada rasa takutnya lagi para kepala daerah itu, padahal sajian pemberitaan OTT KPK berulang-ulang terjadi.

Praktik suap sudah menjadi vitamin tersendiri bagi orang yang sudah lepas urat malunya itu. Mungkin pelakunya berpikir mereka yang tertangkap adalah mereka yang apes saja.

Bayangkan saja sampai 27 Juli 2018, Antara mencatat ada 20 kepala daerah yang terjaring KPK baik itu yang terkena langsung OTT maupun dari hasil pengembangan tersangka lain perkara korupsi.

Berharap pemenjaraan akan membuat yang lainnya kapok, namun tetap saja ada kepala daerah tersangkut kasus suap atau korupsi.

Awalnya pemenjaraan menjadi tablet penyembuh perilaku merampok uang rakyat, bahkan parahnya lagi mereka masih bisa beraksi di dalam lembaga pemasyaratan.

Seperti yang terakhir Kalapas Sukamiskin Wahid Husen terjaring OTT KPK karena diduga menerima suap dari terpidana korupsi. Kerennya, terpidana korupsi itu masih punya uang juga untuk menyuap.

Yang menjadi pertanyaan formulasi apa yang bisa mengatasi praktik korupsi itu selain pemenjaraan?.

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) Fakultas Hukum UI memberikan catatan bahwa pemenjaraan jangan menjadi fokus utama pemidanaan koruptor mengingat efek jera hukuman tersebut tidak berpengaruh mengingat kepala daerah masih banyak terjaring OTT KPK.

"Kalau fokus hanya penjara, tapi tidak ada sanksi moneter seperti denda dinaikkan dan maksimalisasi uang pengganti, koruptor akan tetap berduit," kata Choky R Ramadhan
Ketua Harian MaPPI FHUI.

Tentunya patut belajar dari OTT KPK di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, para koruptor masih memiliki uang hingga melakukan suap kepada kepala lapas tersebut.

Karena itu, upaya pemberantasan korupsi, terutama yang dilakukan KPK, tentu tidak berhasil jika meng gunakan indikator pengembalian kerugian negara dan efek jera.

Hukuman yang diancamkan kepada koruptor harus melebihi keuntungan yang diperolehnya agar mereka jera.

Ironisnya, kata Choky, ancaman maksimal pidana denda yang diatur dalam UU Tipikor hanya Rp1 miliar. Padahal diketahui banyak koruptor yang meraup keuntungan secara tidak wajar melebihi Rp1 miliar.

Sebenarnya UU Tipikor membuka peluang untuk memberi tambahan hukuman berupa uang pengganti sebesar jumlah korupsi yang diperolehnya. Apabila terpidana korupsi tidak membayar, hartanya dapat dirampas negara.

Disebutkan, korupsi ditetapkan sebagai kejahatan agar meningkatkan kesejah teraan sosial. Koruptor selaku pelaku kejahatan ekonomi tentu memiliki perhitungan untuk me nambah kekayaannya secara melawan hukum.

Perbuatannya telah dihitung dapat meng hasilkan keuntungan yang lebih tinggi dari biaya yang ditanggungnya. Motivasi pertambahan keuntungan serta kekayaan mendominasi tindak pidana korupsi.

Sanksi moneter

Karena itu, ia menegaskan kembali harus ada sanksi moneter seperti denda dinaikkan dan maksimalisasi uang pengganti, disamping pemenjaraan tetap dilakukan.

Pengamat hukum pidana Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra, menyatakan jaksa dan hakim harus mengenakan uang pengganti secara maksimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

"Kemudian sita seluruh kekayaan hasil korupsinya," katanya guna menanggapi banyaknya kepala daerah yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi.

Memiskinkan koruptor bisa menjadi formulasi yang harus dilakukan mengingat praktik korupsi di Indonesia masih juga terjadi.

Ia menilai tingginya korupsi di tanah air akibat krisis moral , miskin etika dan tidak punya malu.

Bahkan Azmi berpandangan hukuman mati lebih efektif bagi koruptor

karena secara teoritik harus ditanggulangi secara kausatif dan integral/komprehensif.

Kalau dilihat dari kebijakan hukum nasional, harusnya diefektifkan penegakan hukum yg direncanakan sesuai UU Nomor 31 tahun 1999 antara lain dengan pidana mati.

"Sayangnya ketentuan pidana dalam UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 masih banyak kelemahannya," katanya.

Secara ilmiah belum ada jawaban pidana apa yang efektif untuk pelaku korupsi itu, khususnya penjara sulit membuktikan efektivitasnya karena faktor penyebab kejahatan itu banyak.

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menyatakan pemerintah sebaiknya membubarkan penjara khusus koruptor pascapenangkapan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Sukamiskin oleh KPK terkait praktik suap dari narapidana kasus korupsi.

"Tempat koruptor di penjara harus sama dengan pelaku kriminal lain agar efek jeranya semakin kuat," katanya anggota Divisi Judicial Monitoring ICW.

Kebijakan pemerintah menyediakan penjara khusus untuk koruptor juga sangat diskriminatif jika dibandingkan dengan narapidana kriminal lainnya. "Khususnya soal fasilitas, sel koruptor lebih nyaman dari sel pelaku yang lain," tandasnya.

Praktik suap menyuap di penjara/lembaga pemasyarakatan adalah fenomena yang hampir terjadi di sebagian besar penjara di Indonesia termasuk dalam hal ini penjara khusus koruptor di Lapas Sukamiskin.

Dugaan main mata bukan kali ini saja. indikatornya bisa dilihat sejumlah temuan yang juga terungkap di publik misal sel mewah, penyediaan tempat di luar sel untuk kantor atau tempat tinggal, penggunaan laptop atau HP secara leluasa, saung mewah, terpergoknya napi sukamiskin yang keluyuran.

"Akibat korupsi merebak di penjara, muncul persepsi negatif, sepanjang ada uang, apa saja bisa disediakan di penjara," katanya.

Baca juga: Cara ini mungkin ampuh jadikan orang enggan korupsi

Baca juga: Alpha: pemindahan koruptor ke Nusakambangan harus diuji

Baca juga: ICW usul agar bubarkan penjara khusus koruptor

Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018