Jakarta (ANTARA News) - Tahun ini eSports berkesempatan berada di Asian Games sebagai olahraga eksibisi, Indonesia selaku tuan rumah perhelatan olahraga turut mengirimkan tim terbaik untuk berlaga.

Andrew Joseph, 31, seorang pelatih dari XCN Akademik Indonesia menyambut gembira eSports kini mulai diakui untuk masuk ke ajang seperti Asian Games.

“Negara lain seperti China, Korea, Jepang sudah mengakui eSports sebagai olahrga. Indonesia sekarang sudah mulai mau mengakui, dari pemerintah,” kata Andrew, saat ditemui ANTARA News beberapa waktu lalu.

Andrew mengaku sudah bermain gim sejak usia belasan tahun hingga akhirnya dia tertarik untuk menekuninya. Sekitar tahun 2004 lalu, dia pernah berangkat ke Amerika Serikat untuk mengikuti kejuaraan sekelas olimpiade, World Cyber Game.

Selama menekuni dunia gim, Andrew melihat perubahan yang cukup signifikan di dunia eSports dibandingkan saat dia mulai bermain dulu, sekira tahun 2000an awal. Kala itu, dia belum memiliki tempat berlatih, seperti sekarang.

“Dulu, kami nggak ada tempat, di warnet (warung internet) saja,” kata dia.

Internet pun kala itu masih barang mewah, para pemain gim tidak bisa bertemu di dunia maya seperti sekarang ini. Andrew mengaku waktu itu, jika dia ingin “melawan jagoan” gim dari tempat lain, dia harus mendatangi langsung.

Beberapa tahun kemudian, seiring banyaknya ajang profesional yang diikuti para pemain eSports, muncul klub gim, yang disebut “gaming house” menjadi tempat mereka bernaung.

Gaming house menjadi kantor sekaligus seperti tempat karantina para atlet, mereka tinggal di sana untuk berlatih secara profesional. Kegiatan mereka selama di sana terjadwal mulai dari bangun pagi, makan, latihan hingga beristirahat.

Setiap gaming house memiliki banyak atlet yang akan dikelompokkan ke berbagai tim gim, biasanya setiap gaming house memiliki lima sampai 10.

Setiap hari, mereka berlatih sekitar 10 jam sehari, durasi akan bertambah jika mereka akan mengikuti kompetisi. Tidak berarti para atlet main gim non-stop selama berjam-jam, para pelatih merancangnya latihan terdiri dari berbagai sesi, mulai dari membahas strategi hingga mencari lawan main.

Meski pun terkesan menyenangkan karena bermain gim setiap hari, gaming house akan memberikan berbagai syarat untuk dapat bergabung dengan mereka, selain dari kemampuan bermain gim.

Andrew menyatakan organisasinya mengharuskan calon atlet berusia minimal 17 tahun dan mereka akan mendapatkan gaji secara profesional.

Pertimbangan usia ini, selain karena sudah lulus sekolah, seperti olahraga lainnya, performa atlet eSports prima ketika mereka berusia 17 hingga 25 tahun.

“Performa mereka masih top, dari kecepatan, cara berpikir, keberanian,” kata Andrew.

Bermain gim membutuhkan nyali yang besar dan kecepatan dalam mengambil keputusan, setiap langkah yang diambil akan membawa mereka ke kemenangan atau justru kekalahan.

“Kalau masih muda, mereka tidak banyak pertimbangan, berani,” kata dia.

Jaga kesehatan mata

Kesehatan mata, selain kesehatan mental dan fisik, menjadi salah satu hal yang harus dijaga dengan baik oleh para atlet. Setiap hari, mereka akan berhadapan dengan monitor komputer.

Tidak sedikit para atlet eSports mengenakan kacamata karena intensitas mereka berhadapan dengna komputer sangat tinggi sehingga mengalami rabun jauh, atau miopi.

Andrew memahami risiko ini sehingga dia tidak menganjurkan bermain gim berjam-jam non-stop, sebaiknya beristirahat setiap beberapa jam.

“Sekitar satu jam bermain, ada istirahat 10 menit,” kata dia.

Jarak mata ke layar komputer juga akan berpengaruh terhadap kesehatan mata, dia menyarankan memberi jarak sekitar satu rentangan tangan agar mata tidak terlalu lelah.

Baca juga: Tertarik jadi atlet eSports? Ini tipsnya

Baca juga: Mobile Legends ingin terlibat di kurikulum eSport

Baca juga: LAPORAN DARI PARIS - PSG ingin gaet fans muda Asia lewat game (video)

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018