Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah dinilai gagal melakukan sosialisasi pemakaian kompor gas dalam rangka program konversi energi dari minyak tanah sehingga yang terjadi justru ketakutan masyarakat menggunakan kompor gas yang dibagikan gratis. "Program sosialisasi ternyata gagal yang terjadi masyarakat justru takut menggunakan kompor gas dan juga dampak lainnya bagi para pedagang minyak tanah," kata pemerhati masalah energi Rezy Aziz di Jakarta, Selasa. Ia mengatakan hal itu menanggapi terjadinya aksi penjualan kompor gas gratis dari masyarakat penerima ke pihak lain. Aksi tersebut terjadi karena mereka takut menggunakan kompor gas menyusul terjadinya beberapa peristiwa kebakaran akibat kebocoran gas. Selain aksi dari para penerima kompor gas gratis, para pedagang minyak tanah juga melakukan aksi unjuk rasa di depot Pertamina Plumpang menentang program konversi tersebut yang akhirnya berakhir ricuh. Aksi itu dipicu karena ketakutan para pedagang akan hilangnya mata pencarian mereka. Menurut dosen Trisakti ini, kurangnya sosialisasi itu sudah bisa terbaca dari cepatnya program ini digulirkan. Bahkan ketika program sudah berjalan masih ada kekhawatiran mengenai pasokan gas untuk tabung ukuran 3 kg. Pemerintah seharusnya melakukan perencanaan matang dan tidak hanya mengambil jalan pintas untuk mengurangi subsidi terhadap BBM ini. Sebelum program konversi ke gas, lanjutnya, pemerintah telah mencanangkan penggunaan briket batu bara. "Program ini pun akhirnya dihentikan sebelum terlaksana karena masalah lingkungan hidup dan kemudian dialihkan ke gas. Ini mencerminkan pemerintah tidak punya perencanaan induk soal energi alternatif," katanya. Untuk persoalan konversi minyak tanah ini, Rezy menilai masalah yang dihadapi pemerintah sangat besar karena menyangkut perubahan perilaku konsumen. Konsumen selama ini, menurut dia, masih sangat bergantung dengan minyak tanah meski harganya lebih mahal. Namun itu tidak menjadi masalah karena mereka bisa membeli secara eceran, dan ini tidak bisa dilakukan ketika harus menggunakan gas. "Mereka tidak berpikir soal hemat tidaknya uang yang mereka punyai, tapi soal kemudahan, karena dengan hanya beberapa lembar uang seribuan mereka bisa membeli minyak tanah sesuai keinginannya," katanya. Anggota DPR Alvin Lie menanggapi masalah yang sama mengatakan, apa yang terjadi saat ini merupakan akibat dari kebijakan pemerintah yang sepotong-potong dan kurang perencanaan matang serta mengabaikan dampak sosialnya. "Kalau kita lihat hitung-hitungannya lebih menguntungkan gas dan juga dari aspek lingkungan hidup tapi jangan lupa kita dihadapan untuk mengubah perilaku masyarakat, dan ini butuh waktu. Saya lihat pemerintah terlalu tegesa-gesa, kurang perencanaan matang," katanya. Untuk mengatasi semua persoalan itu, lanjutnya, selama dalam masa transisi ini pemerintah harus tetap menjamin ketersediaan minyak tanah sambil secara perlahan-lahan terus melakukan sosialisasi penggunaan gas serta penyiapan semua sarana pendukungnya. Diakuinya memang ada resiko anggaran ganda terhadap langkah ini yaitu untuk melakukan subsidi minyak tanah dan memasok gas. Namun jika ini berjalan lancar dimana ketersediaan semua sarana pendukungnya sudah tidak ada masalah seperti pasokan gas-nya, tabung dan kompornya, maka pemerintah bisa melakukan pengurangan suplai minyak tanah. "Jadi jangan langsung ditarik karena bisa menimbulkan dampak sosial yang lebih besar karena hal ini tidak hanya menyangkut perilaku konsumen tapi juga mata rantai distribusi," katanya.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007