Bogor (ANTARA News) - Tak kurang dari 500 ribu ekor ayam di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) mati karena flu burung (Aviani Influenza/AI) dalam enam bulan terakhir, namun tidak semua kasus tersebut dilaporkan ke pihak yang berwenang. Praktisi perunggasan ras, drh. Roeslan Isdhianto, mengatakan di Bogor, Selasa, data tersebut diperolehnya dari temuan di lapangan terhadap 10 peternak sektor II --peternak besar dengan jumlah ayam 100-200 ribu ekor, di kawasan Jabotabek. Roeslan mengakui, tidak semua kasus AI ini dilaporkan karena berbagai faktor, di antaranya kekurangan petugas di lapangan. Sejak terjadinya pandemi flu burung pada unggas pada 2003, Pemerintah telah menggerakkan program vaksinasi massal serta eradikasi pada daerah tertular baru. Namun pada tahun 2007, kasus AI kembali meledak. "Dengan kasus ini saya menilai, pendekatan vaksinasi yang dilakukan oleh Pemerintah gagal," kata Roeslan. Ada banyak faktor yang menyebabkan kegagalan tersebut, antara lain ketidakjelasan kompensasi bagi peternak jika unggas mereka dimatikan, sehingga karena unggas yang tertular tidak dibunuh, terjadi endemi pada daerah tertular. Faktor terpenting yang menyebabkan kegagalan adalah kurang tegasnya Pemerintah dalam program vaksinasi. "Saat ini ada 15 vaksin dengan tiga subtype virus yaitu H5N1, H5N2 dan H5N9. Tidak ditentukan satu vaksin yang paling tepat untuk kasus AI di Indonesia," kata dia. Disamping itu, vaksin yang beredar tidak pernah dievaluasi. "Seharusnya vaksin tersebut harus melalui tahapan surveillance, monitoring dan evaluasi," kata dia. Ia mencontohkan, di Bogor pada Januari lalu tercatat 43 kelurahan tertular flu burung. Namun setelah itu, tidak ada kejelasan lagi apakah jumlah kelurahan yang tertular AI sudah bertambah atau tidak karena tidak ada monitoring. Sementara itu, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan, Dr. Drh Heru Setijanto, mengungkapkan kekhawatirannya, kasus AI di Indonesia merupakan fenomena gunung es. "Kematian ayam terjadi dimana-mana. Masalahnya, apakah itu dilaporkan atau tidak," kata dia. Ia mengakui saat ini terjadi kekurangan petugas medis veteriner. Jumlah Pos kesehatan hewan (Poskeswan) di seluruh Indonesia hanya 200, itupun separohnya sudah tinggal bangunannya saja. "Seharusnya, di tiap kecamatan ada poskeswan yang dipimpin oleh orang yang mempunyai otoritas, dalam hal ini dokter hewan," kata Heru. DOC penyebar AI potensial Heru mengatakan salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian Pemerintah adalah potensi "day old chicken" (DOC) untuk membawa virus AI hingga ke luar pulau. "Sekitar 20 juta ayam DOC diantarpulaukan, namun tidak satu pun dari ayam-ayam tersebut yang divaksin," kata Heru. Ayam-ayam broiler yang paling lama hanya berumur 35 hari sebelum dipotong itu, katanya, tidak divaksin karena memang tidak ada vaksin yang sesuai. "Karena vaksin inaktif yang diijinkan Pemerintah tidak mampu membentuk antibodi jika hanya diberikan sekali saja." Vaksin yang saat ini digunakan, hanya mampu membentuk kekebalan (antibodi) setelah tiga kali diberikan kepada unggas. Ia menjelaskan ketika awal wabah flu burung merebak di Indonesia, hanya ayam petelur saja yang mati karena virus tersebut. Namun sekarang ayam broiler -- yang banyak dikembangkan oleh peternak sektor II -- juga banyak yang mati. DOC sebenarnya membawa kekebalan dari induknya, namun kekebalan ini rupanya hanya berlangsung tidak lebih dari tujuh hari. Disamping itu, sekarang ini di Indonesia tidak ada antigen yang sudah distandardisasi untuk mendeteksi terbentuknya antibodi, karena jika vaksin diimpor, antigennya tidak diperbolehkan masuk, kata Heru. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007