Kupang (ANTARA News) - Pengamat masalah Timor Leste, Florencio Mario Vieira, memperkirakan pemerintahan baru Timor Leste akan "berjalan pincang", menyusul penunjukan Xanana Gusmao menjadi Perdana Menteri oleh Presiden Jose Ramos Horta yang berdampak buruk pada situasi politik negara itu. "Keputusan Presiden Horta merupakan sebuah tindakan yang sangat berani, namun penuh dengan risiko, karena berdampak instabilitas politik yang mengarah pada kekerasan baru dan 'failed state'," kata Vieira di Kupang, Selasa. Alumnus John Heinz III, School of Public Policy and Management, Cargie Mellon University, AS, itu mengemukakan pandangannya setelah Presiden Timor Leste, Jose Ramos Horta, menunjuk Xanana sebagai Perdana Menteri di willayah bekas koloni Portugis dan provinsi ke-27 Indonesia itu. Seperti diberitakan sebelumnya, Ramos Horta di Dili, Senin, memutuskan untuk mengundang Aliansi Mayoritas Parlemen (APM) membentuk pemerintahan, dengan mengacu pada satu koalisi partai-partai yang dipimpin Xanana Gusmao. "APM mengusulkan agar Xanana Gusmao menjadi perdana menteri. Saya menyetujuinya," katanya, seraya menambahkan mantan presiden itu akan diangkat untuk jabatan barunya itu, Rabu. Keputusan itu menimbulkan kemarahan mantan PM Mari Alkatiri, yang mengemukakan kepada wartawan di kediamannya bahwa ia sudah diberitahu tentang keputusan Ramos Horta itu. "Ini adalah sama sekali tidak sah dan bertentangan dengan konstitusi kita. Karena itu, pemerintah, dalam hal ini, tidak akan pernah memiliki kerjasama dengan Fretilin karena ini adalah satu pemerintahan yang ilegal," katanya. Fretilin, bekas partai yang berkuasa, meraih 21 kursi dalam pemilihan parlemen yang memiliki 65 kursi, tidak meraih mayoritas mutlak yang diperlukakan untuk membentuk pemerintah. Tetapi, partai itu mengatakan bahwa karena pihaknya memiliki suara paling banyak, seharusnya diminta untuk memimpin dan akan mengundang partai-partai lain untuk membentuk satu pemerintah persatuan. Fretilin juga bersikeras bahwa aliansi yang dipimpin Xanana Gusmao harus dinyatakan tidak sah, karena dibentuk setelah pemungutan suara dan tidak sebelumnya. Partai Xanana Gusmao, Kongres Nasional untuk Rekonstruksi Timor Leste (CNRT), hanya meraih 18 kursi dalam pemilu 30 Juni, tetapi kemudian membentuk satu koalisi yang menguasai 37 kursi. Presiden Timor Leste yang juga peraih Hadiah Perdamaian Nobel itu, memiliki wewenang untuk memutuskan susunan pemerintah, karena konstitusi tidak mengatur secara tegas tentang bagaimana untuk menyeleaikan masalah berdasarkan hasil seperti itu. Mario Vieira mengatakan keputusan Presiden Horta itu cukup berani, namun penuh risiko karena berdampak pada ketidakstabilan politik yang mengarah pada penciptaan kekerasan baru, dan keputusan tersebut memperparah negara yang dikategorikan sebagai "failed state" atau negara gagal. Menurut dia, pemerintah koalisi yang menyingkirkan partai pemenang pemilu tidak akan kokoh dalam menjalankan roda pemerintahan yang kuat. Seharusnya, kata Mario Vieira, Ramos Horta memaksakan pemerintah pesatuan nasional dimana Fretilin menerima Xanana Gusmao menjadi Perdana Menteri, dengan menawarkan posisi Wakil Perdana Menteri kepada dari Fretilin. Namun, tambahnya, rupanya Presiden Horta lebih condong mengikuti kemauan koalisi sebagai bagian dari konspirasi yang memang sudah diskenariokan sejak lama yang diawali dengan kerusuhan Mei 2006 yang mengakibatkan 37 orang tewas dan menjatuhkan Mari Alkatiri dari kursi Perdana Menteri yang didukung tentara Australia. Dalam kaitan dengan persoalan tersebut, ia memperkirakan pemerintahan Timor Leste akan "berjalan pincang", karena mengabaikan suara mayoritas untuk duduk dalam pemerintahan baru pimpinan Xanana Gusmao. (*)
Copyright © ANTARA 2007