Pada RUU yang baru diharapkan benar-benar fokus terhadap perlindungan konsumen bukan pengusaha
Jakarta, (ANTARA News) - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mendesak pemerintah agar dalam perumusan draft Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang akan menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, lebih difokuskan pada perlindungan konsumen itu sendiri.
Wakil Ketua BPKN Rolas Budiman Sitinjak mengatakan bahwa selama ini, pendekatan perlindungan konsumen yang ada di Indonesia masih berbicara soal pengaturan para pelaku usaha, dalam upaya untuk melindungi konsumen. Padahal, sudah seharusnya konsumen yang lebih diprioritaskan.
"Pada RUU yang baru diharapkan benar-benar fokus terhadap perlindungan konsumen bukan pengusaha. Selama ini, mayoritas masih berbicara tentang pelaku usaha," kata Rolas, saat berkunjung ke Antara, Rabu.
Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Namun, kewenangan yang dimiliki BPKN dalam memberikan kepastian hukum bagi para konsumen yang haknya dilanggar, antara lain baru sebatas menerima pengaduan dari masyarakat atau pelaku usaha, memberikan advokasi dan edukasi, serta memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah.
"Pada RUU yang baru, agar kewenangan yang ada bagi BPKN diperluas dan diperbanyak. Kami meminta kewenangan tindakan lain, seperti menegur pelaku usaha yang merugikan konsumen," kata Rolas.
Rolas mencontohkan, badan perlindungan konsumen di Australia, memiliki kewenangan untuk menegur pelaku usaha yang merugikan konsumen, atau bahkan menutup usaha yang terbukti melanggar ketentuan perundangan.
Dalam Strategi Nasional Perlindungan Konsumen di Indonesia, ada sembilan sektor prioritas, yakni, sektor layanan kesehatan, sektor telekomunikasi, sektor listrik dan gas, sektor perumahan, sektor obat dan pangan, sektor jasa keuangan, sektor e-commerce, sektor transportasi, dan sektor barang elektronik, telematikan dan kendaraan bermotor.
Di Indonesia, BPKN bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia yang memiliki misi untuk memastikan dan memperluas akses pemulihan hak konsumen, serta memastikan pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha untuk proaktif dalam upaya perlundungan konsumen.
Revisi UU Perlindungan Konsumen diperlukan mengingat perkembangan teknologi dan transaksi perdagangan menuntut adanya penataan ulang khususnya terkait dengan masalah perlindungan konsumen yang saat ini tersebar di berbagai sektor.
Transaksi yang dilakukan oleh pelaku usaha dan konsumen terus berkembang, dan melibatkan banyak aspek pengaturan. Diharapkan kedepannya harus mampu mewadahi perkembangan aplikasi internet seperti e-commerce, logistik barang dan jasa, isu keamanan dan kedaulatan jaringan serta data informasi dan lainnya.
Revisi UU tersebut diperlukan karena selama ini penegakan UU Perlindungan Konsumen itu masih mengalami kendala. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah seperti aspek gramatika, sistematika undang-undang, pegaturan tanggung jawab pelaku usaha, penyelesaian sengketa konsumen dan masalah kelembagaan.
Baca juga: BPKN: jangan mudah tergiur investasi berbunga tinggi
Baca juga: BPKN: pengaduan konsumen tertinggi di bidang perumahan
Baca juga: UU Perlindungan Konsumen perlu direvisi
Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2018