Jakarta (ANTARA News) - Juli, 10 tahun silam, gelombang krisis ekonomi melanda Asia. Perekonomian kawasan "emerging market" itu luluh lantak. Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Filipina adalah negeri-negeri paling parah terkena imbas badai ekonomi. Krisis itu bermula dari 'Negara Gajah Putih', kemudian merembet ke hampir seluruh kawasan. Pembalikan arus modal (capital outflow) yang begitu besar dan cepat tidak mampu dibentung oleh Bank Sentral Thailand. Akibatnya, Bank Sentral Thailand "colaps", setelah habis-habisan menggelontorkan 38 miliar dolar AS cadangan devisanya untuk membendung penurunan nilai tukar baht terhadap dolar AS. Ketidakmampuan Bank Sentral Thailand meredam gejolak nilai tukar itu, akhirnya membawa pada kehancuran ekonomi Thailand. 2 Juli 1997 merupakan hari yang paling kelam bagi Thailand, pada saat itu nilai tukar baht jatuh pada titik terendah sepanjang sejarah. Spekulan menyerang mata uang baht, telah membuat sendi-sendi ekonomi Thailand hancur. Krisis tidak berhenti sampai di situ. Kehancuran ekonomi di Thailand merembet ke negara-negara Asia lainnya seperti Korea Selatan, Hongkong, Philipina dan Indonesia. Di Indonesia, berbagai upaya pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk mendongkrak nilai tukar rupiah juga tidak berhasil. Rupiah bahkan jatuh lebih dalam ketimbang bath. Inflasi juga terus membumbung dan suku bunga pasar berada pada level yang "tidak masuk akal". Akhinya perekonomian Indonesia pun turut terseret pada pusaran krisis berkepanjangan. Bahkan krisis itu berujung jatuhnya pemerintahan Soeharto yang selama 32 tahun sangat berkuasa. Setelah 10 tahun, negara-negara "emerging market" mulai kembali membangun kembali fondasi-fondasi ekonomi yang hancur akibat gelombang krisis. Meski perekonomian negara-negara di Asia mulai pulih, trauma krisis hingga kini masih membekas. Beberapa kalangan bahkan sangat khawatir krisis ekonomi itu terulang kembali. Isu krisis jilid II Demi menghidari terulangnya krisis ekonomi jilid II, berbagai solusi dicari melalui forum kerjasama regional maupun internasional. Pada akhir Juli 2007 negara-negara yang tergabung dalam Seacen (South East Asian Central Banks) mengadakan konferensi ke-42 di Bangkok-Thailand. Konferensi tersebut mengusung tema sentral "Living with Volatilities, Managing Exchange Rates and Capital Flows in Seacen Economies". Dalam konferensi itu hadir seluruh gubernur bank sentral Asia Tenggara, dan beberapa petinggi otoritas moneter internasional, seperti Managing Director IMF, Rodrigo de Rato, dan Deputy General Manager Bank for International Settlements (BIS), Herve Hannoun. Thailand dipilih sebagai tuan rumah, sekaligus untuk mengingatkan kembali peristiwa 10 tahun lalu. Dari Thailand lah krisis ekonomi ini berawal dan merembet ke berbagai negara di kawasan Asia. Isu krisis ekonomi jilid II, menjadi bahasan hangat dalam forum itu. Peserta konferensi pun saling mengingatkan kembali agar jangan krisis sampai terulang lagi. Namun beberapa pengamat justru menilai, tanda-tanda krisis ekonomi bakal terulang kembali sudah ada di depan mata. "Krisis selalu dimulai dengan derasnya arus modal yang masuk ke emerging market seperti yang terjadi sekarang ini," kata beberapa pengamat. Mereka meyakini ketika arus modal yang deras itu masuk dan kemudian secara besar-besaran keluar dalam waktu yang cepat, maka krisis yang dalam bakal terulang kembali. Hot money Disinyalir, saat ini telah terjadi aliran dana sangat deras ke bursa China. Pada paruh pertama 2007 saja, indeks bursa China sudah melesat 80 persen. Demikian juga indeks Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang terus merangkak karena dorongan dana-dana asing. Dana asing yang bergulir di BEJ kini telah mencapai 67 persen. Perusahaan-perusahaan yang akan "go public" pada tahun ini diperkirakan mencapai 50 miliar dolar AS atau naik dua kali lipat dibandingkan 2006. "Peningkatan ini merupakan tanda, betapa besarnya dana-dana asing yang masuk ke bursa saham di Asia," kata Deputi General Manager BIS, Herve Hannoun. Peningkatan aktivitas bank-bank asing di "emerging market" juga semakin melesat. Aset bank-bank asing di Asia meningkat empat kali lipat selama 20 tahun terakhir, menjadi 700 miliar dolar AS. Pengamat Ekonomi, Hadi Soesastro sangat khawatir negara-negara Seacen tidak belajar dari pengalaman krisis keuangan 10 tahun lalu. Benarkah posisi kawasan ini sekarang sudah lebih baik dibandingkan 10 tahun lalu dalam menghadapi kemungkinan terjadinya `financial shock`, Hadi Soesastro masih meragukannya. Berbeda dengan Hadi Soesastro, Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah, meyakini negara-negara "Seacen Economies" saat ini berada dalam posisi yang cukup kuat untuk menghadapi kemungkinan terjadinya pembalikan arus modal. "Kawan-kawan di Seacen merasa bahwa bank-bank yang berada di bawah pengawasannya pada posisi cukup kuat," katanya. Pandangan para gubernur bank sentral Seacen dalam konferensi itu hampir senada. Mereka memang mengakui bahwa masuknya arus modal dalam jumlah besar ke negara Seacen polanya hampir sama dengan kejadian 10 tahun lalu, namun kondisi ekonomi negara Seacen sangat berbeda dibanding dulu. "Semua negara Seacen telah memperbaiki ekonomi. Saat ini jauh lebih positif. Kami optimis dapat mengatasi segala kemungkinan," ujar Gubernur Bank Sentral Thailand, Tarisa Watanagase. Dalam pidato pembukan konferensi Seacen, Watanagase mengatakan, bagaimanapun negara-negara emerging market punya pengalaman yang lebih banyak untuk menghadapi gejolak nilai tukar mata uangnya, dibandingkan dengan negar maju. "Kita sudah belajar apa yang harus diperkokoh dan apa yang harus dipersiapkan," ujarnya. Ekonomi Thailand, misalnya, sudah jauh lebih baik. Tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi juga terjaga sesuai dengan target yang diinginkan otoritas moneter negeri itu. "Institusi (bank sentral) juga sudah lebih kuat menghadapi berbagai kemungkinan" tambahnya. BI juga terlihat tidak risau dengan derasnya arus modal yang masuk ke Indonesia. Demikian juga, jika tiba-tiba dana "panas" itu ditarik kembali oleh para "fund manager" asing. "Kita tidak bisa menahan dana yang keluar, biar saja. Itu uang mereka kok, harus ditahan. Yang menjadi persoalan bagaimana semua itu dikelola dengan baik," ujar Buhanuddin Abdullah. BI telah melakukan berbagai langkah antisipatif, antara lain dengan menjaga stabilitas ekonomi makro. "Sampai sejauh ini stabilitas dapat dikendalikan, sehingga dapat mencapai target yang kita inginkan," tambahnya. BI juga sudah mampu menekan spekulan melalui serangkaian kebijakan yang dikeluarkan BI. "BI terus memonitor, sehingga tahu persis berapa besar aliran dana yang masuk, diinvestasikan dimana saja, maupun dana-dana yang ditarik kembali oleh investor," katanya. Menurut Burhanuddin, otoritas moneter bahkan dapat memperkirakan seberapa besar dampaknya jika terjadi arus pembalikan modal. Saat ini cadangan devisa di BI mencapai 51 miliar dolar AS. Jumlah itu cukup "manageable", untuk menjamin stabilitas moneter di Indonesia. Dana Moneter Internasional (IMF) juga tidak melihat tanda-tanda krisis keuangan akan melanda "emerging market". "Kita tidak melihat ada ke arah sana, Indonesia dan Thailand mempunyai fundamental ekonomi yang bagus dan stabilitas ekonomi makronya terjaga," kata Managing Director IMF, Rodrigo de Rato. Menurutnya "capital inflow" dan "capital outflow" dalam jumlah besar merupakan fenomena biasa dalam globalisasi ekonomi. "Tidak ada yang perlu dirisaukan selama kita dapat menjaga fundamental dan stabilitas ekonomi makro," katanya. Gejolak nilai tukar yang terjadi sekarang ini katanya disebabkan adanya ketidakseimbangan global (imbalance payment). Investor meminjam dana di negara-negara yang suku bunganya sangat rendah seperti Jepang dan negara-negara maju. Kemudian menginvestasikan dananya di emerging market yang memberikan tingkat keuntungan yang besar. "Investor selalu mencari tempat yang memberikan keuntungan yang lebih baik, sehingga sewaktu-waktu dana yang ditempatkannya dapat ditarik kembali dan dipindahkan ke tempat lain," paparnya. (*)
Oleh Oleh Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2007