Surabaya (ANTARA News) - Pakar seni ludruk dari Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dr Henri Supriyanto, MSi mengemukakan, Ludruk bisa lebih hidup lagi apabila didukung oleh seniman muda terpelajar.
"Cuma persoalannya sekarang masih sulit mencari anak-anak muda terpelajar yang senang ludruk. Dulu ada ludruk kampus di Surabaya dan Malang tapi sifatnya musiman," katanya kepada ANTARA di Surabaya, Senin.
Ia mengemukakan, ludruk kampus sebetulnya potensial untuk mengembangkan dan melestarikan seni tradisional itu. Namun persoalannya adalah status pemain yang bisa berganti-ganti setelah mereka lulus kuliah.
Pihaknya terus berupaya menghidupkan sejumlah seni ludruk, khususnya di Malang dengan berbagai inovasi, misalnya persiapan penampilan secara maksimal sebelum pentas maupun diskusi-diskusi berkala setelah pentas.
Sekarang ini, persoalan ludruk itu terletak pada faktor internal maupun ekesternal. Secara internal, seniman ludruk sendiri memang kurang profesional, apalagi sejak pimpinannnya dipegang oleh pedagang.
"Yang menjadi juragan itu bukan orang yang ahli dalam seni ludruk, tapi yang punya uang. Akhirnya orientasinya hanya mencari order untuk pentas dan pemiannya adalah comotan dari beberapa grup," katanya.
Karena itu, katanya, ibarat pemain sepakbola, maka antarpemain dalam suatu pementasan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Mereka umumnya tidak berlatih secara profesional, melainkan hanya mengandalkan keterampilan seadanya.
"Secara eksternal, seniman ludruk juga tidak tahu mengenai perkembangan yang terjadi di luar, padahal peranan televisi itu sangat kuat. Kalau dulu orang mencari hiburan di luar rumah, sekarang hiburan atau televisi malah masuk rumah," katanya.
Dikatakannya, perkembangan di luar itu tidak direspon oleh seniman ludruk, sehingga banyak aspek yang sebetulnya sudah tidak layak masih tetap dipertahankan, seperti tutup layar untuk berganti adegan yang terlalu lama.
"Kalau ganti adegan itu terlalu lama, penonton jadi bosan. Waktu dua hingga tiga menit itu sudah cukup lama bagi penonton. Mestinya seniman ludruk sekarang mengerti betul tentang psikologi penonton sehingga tidak kalah dengan televisi," katanya.
Menurut dia, seni ludruk saat ini masih banyak ditanggap di desa-desa oleh para pedagang yang memiliki uang. Biasanya pementasan itu digabung dengan permainan sepak bola pada sore hari atau sebelum pementasan.
"Ini cukup menarik karena ada keterikatan antara penonton dengan pemin ludruk. Persoalannya adalah, tidak banyak orang desa mau berkorban untuk nanggap ludruk, sementara di perkotaan sudah sulit bersaing dengan televisi," katanya.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007