Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Ahmad Basarah meminta segera diakhiri isu adu domba antara Islam dan Nasionalis.
"Isu adu domba antara Islam dan Nasionalis ini harus segera diakhiri," kata Basarah saat menerima audiensi Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) di ruang kerjanya di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.
Basarah membeberkan, upaya adu domba amat ampuh untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai contoh, Belanda bisa dengan lama menjajah Indonesia yang dahulu bernama Nusantara, karena menjalankan praktik politik adu domba.
"Kini saya melihat ada upaya reproduksi politik adu domba," sambung Basarah.
Secara spesifik Basarah menjelaskan bahwa kesan yang muncul saat ini adalah seakan-akan kelompok nasionalis sangat anti agama. Sebaliknya kelompok agama, tambah Basarah, khususnya kelompok Islam dipersepsikan tidak nasionalis. Bagi Basarah, dikotomi tersebut dinilai rancu dan a-historis.
Lebih lanjut, Basarah menjelaskan, tudingan yang menyebut Bung Karno sebagai seorang nasionalis sekuler sangat tidak tepat. Menurut Basarah, dalam faktanya, Bung Karno adalah pribadi yang religius. Bung Karno, sambung Basarah belajar Islam dengan sungguh-sungguh selama 26 (dua puluh enam) tahun.
"Jadi konstruksi awal pemikiran Bung Karno adalah Islam. Bung Karno itu santrinya H.O.S Tjokroaminoto. Bung Karno itu santrinya Kiai Haji Ahmad Dahlan. Ini artinya Bung Karno sosok religius," tambah Basarah.
Pada bagian lain, Basarah juga menyoroti peran alim ulama dalam menjaga keutuhan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa. Salah satu bukti nyata tersebut adalah para ulama atau kelompok religius yang tergabung dalam Panitia 9 (sembilan) menyetujui permintaan Bung Hatta agar menghilangkan 7 (tujuh) kata yaitu "Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya" menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
"Nah, di sini amat jelas. Bahwa kaum agamis itu sangat cinta kepada tanah airnya. Jadi, saya tegaskan dikotomi antara Islam dan Nasionalis sudah tidak tepat. Adanya kesalahpahaman ini harus segera diakhiri," jelas Basarah.
Pewarta: Jaka Sugianta
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018
