Solo (ANTARA News) - Nilai tawar politik petani di Indonesia masih rendah dan hanya dijadikan objek untuk memperoleh suara oleh para politikus pada masa kampanye pemilu, baik untuk legislatif maupun Presiden. "Para politikus yang memanfaatkan suara petani itu setelah berhasil menjadi DPR, bupati, gubernur, atau Presiden dalam kebijakannya jarang memerhatikan kepentingan petani," kata Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Sutrisno Iwantono, di sela Konpernas XV dan Kongres XIV Perhepi di Hotel Sahid Raya Solo, Minggu. Sewaktu kampanye mereka menjanjikan akan mengangkat nasib para petani dengan berbagai programnya, tetapi setelah terpilih semua itu hampir tidak ada yang dilakukan dalam membela petani, padahal jumlah petani di Indonesia sekitar 45 persen dari jumlah penduduk, katanya. Ia mengatakan, sekarang sudah saatnya para ahli bidang pertanian tidak hanya memikirkan pertanian saja, tetapi juga dalam politik agar nanti setelah berhasil bisa memperjuangkan petani melalui kebijakan-kebijakannya. "Kepentingan petani kalau tidak kita ini yang membela siapa lagi, sekarang tidak usah segan-segan lagi karena faktanya memang demikian," katanya. Sementara itu, Deputi Bidang Perekonomian Menko Kesra Bayu Krisnamurti mengatakan, sekarang ini jalur politik pembangunan pertanian terpecah-pecah sehingga dari organisasi pertanian yang ada diharapkan dapat menjaganya. Untuk melaksanakan politik pembangunan pertanian tidak bisa hanya dilakukan sepotong-potong dan ini perlu waktu jangka panjang, oleh karenanya program yang ada juga harus disesuaikan, katanya. Dalam masalah pemanasan global, kata dia, akan memengaruhi semua masalah pangan, maka dalam menentukan kebijakan juga harus dipikirkan jauh-jauh yang akan dikembangkan di Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan itu, kata dia, di Indonesia bahan bakunya melipah, semua itu kembali kepada para pengambil kebijakan, kalau tidak membela petani kemungkinan sulit diwujudkan. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007