Natuna (ANTARA News) - Warga masyarakat Natuna, Kepulauan Riau, mengancam akan menduduki Istana Negara di Jakarta bila pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Pertahanan (DCA) Indonesia-Singapura tetap disetujui pemerintah pusat. "Penolakan terhadap pelaksanaan DCA terus kami lakukan. Bila DCA tetap disetujui pemerintah pusat maka warga masyarakat Natuna akan menduduki Istana Negara," kata Bupati Natuna, Daeng Rusnadi, di Natuna, Minggu. Ia mengatakan, penolakan dari Natuna diharapkan menjadi pertimbangan pemerintah pusat agar warga masyarakat Natuna yang sekitar 80 persen di antaranya adalah nelayan dan petani, tetap dalam kondisi aman dan kondusif dalam menjalani kehidupan. "Saya sangat yakin Presiden akan membatalkan perjanjian ini," katanya. Menurutnya, pemerintah pusat sudah waktunya menampung aspirasi rakyat yang berada di pulau terluar seperti Natuna, agar tetap utuh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketegasan penolakan DCA merupakan harga mati dan tidak dapat ditawar-tawar untuk memperjuangkan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia agar tidak mudah diinjak-injak negara lain yang menginginkan negara Indonesia menjadi terpecah belah. "Bila DCA disetujui sama artinya menginjak marwah masyarakat Natuna dan bangsa Indonesia," katanya. Ia mengatakan, pemerintah pusat belum pernah mengajak pemerintah daerah dalam pembahasan Perjanjian Ekstradisi (ET) ataupun DCA yang ditandatangani kedua pemerintah 27 April 2007 di Bali, padahal yang lebih memahami kondisi daerah adalah kepala daerah bersangkutan. "Pemerintah daerah Natuna belum pernah secara resmi dilibatkan dalam perundingan DCA," katanya. Ia menyayangkan bila daerah latihan militer Singapura beserta negara ketiga jadi dilakukan di Kepulauan Midai (Bravo) dan Kepulauan Anambas (Alfa 2) yang merupakan jalur transportasi dan sumber daya alam gas yang lima kali lebih besar dibanding di Aceh. "Kedua pulau ini merupakan jalur transportasi warga masyarakat menuju Ranai termasuk daerah tangkapan nelayan tradisional," katanya. Ia mengatakan, DCA Singapura-Indonesia menyebutkan bahwa dalam satu bulan Singapura dapat melakukan latihan selama 15 hari, satu tahun sebanyak enam bulan dalam kurun waktu selama 25 tahun. Selain itu, Singapura juga dapat menggunakan perlu tajam dan kendali yang sewaktu waktu dapat mengancam keselamatan warga Natuna. "Saya heran, kalau Singapura menganggap latihan perang ini tidak berbahaya kenapa tidak dilakukan di Pulau Sentosa atau Jurong yang ada di negara sendiri," katanya. Sementara itu, Ketua Umum Pemuda Pancasila sekaligus Ketua Umum DPP Partai Patriot Yapto S Soerjosoemarno mengatakan, ada misi lain Singapura dan negara ketiga yang bersikeras menginginkan latihan perang di perairan Natuna, atau Indonesia secara keseluruhan. "Buat apa Singapura memiliki persenjataan yang lebih besar kalau tidak ada misi lain. Banyak cara untuk merampok kekayaan Indonesia, seperti halnya pencurian pasir laut," katanya. Menurutnya, Singapura tidak cukup alasan untuk takut dengan Indonesia terutama Malaysia, karena Singapura dan Malaysia merupakan negara bekas jajahan Inggris. "Pemerintah perlu curiga kenapa Indonesia tidak dilibatkan, semestinya negara yang memiliki hak penuh atas negaranya diikut sertakan," katanya. Ia mengatakan, bila pemerintah tetap memberikan restu kepada Singapura, Pemuda Pancasila dan segenam warga masyarakat Natuna bertekad menjaga kedautalan NKRI dengan cara mendatangi serta menghalangi latihan militer yang diadakan di perairan Natuna meskipun nyawa taruhannya. "Kalau perlu seluruh Pemuda Pancasila di seluruh Indonesia dan masyarakat Natuna menjaga lokasi tempat latihan militer Singapura meskipun nyawa taruhannya," katanya. Sebelumnya, Sabtu, (4/8) sekitar 3.000 warga masyarakat Kabupaten Natuna mengadakan apel akbar menola perjanjian latihan militer di Kabupaten Natuna yang sebagian wilayahnya terdiri dari perairan dan berjuluk Laut Sakti Rantau Betuah. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007