... ini bisa jadi didesain untuk tujuan politik...

Jakarta (ANTARA News) - PDI Perjuangan tidak setuju apabila ada pihak-pihak tertentu yang menyamakan kondisi perekonomian saat ini dengan kondisi 1998. Waktu itu, ekonomi nasional sangat gonjang-ganjing dan berimbas ke ranah politik, berujung pada pengakhiran kekuasaan Orde Baru.

"Tidak tepat jika nilai tukar Dollar hari ini yang berada di kisaran Rp14.400 disamakan dengan kegentingan ekonomi yang sama dengan 1998," ujar anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR, Adian Napitupulu, melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Ia menegaskan, pihak yang menyamakan nilai tukar dolar Amerika Serikat hari ini sudah segenting 20 tahun lalu, hanya melihat angka dolar Amerika Serikat itu tanpa mengetahui angka-angka lain, misalnya angka upah minimum regional. Pihak itu menurut dia, mencoba mendramatisasi situasi seolah menakutkan dan berbahaya.

"Opini ini bisa jadi didesain untuk tujuan politik," kata Napitupulu.

Mantan aktivis 1998 itu menduga opini bermotif politik itu digulirkan dengan harapan rakyat percaya bahwa nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat di pemerintahan Jokowi seolah dalam situasi yang persis sama dengan situasi 20 tahun lalu.

Ia lalu memberikan perbandingan atas kondisi perekonomian saat ini dengan 1998.

Nilai tukar dolar Amerika Serikat pada akhir Agustus 1997 berada di kisaran satu dolar Amerika Serikat senilai Rp2.500, dengan UMR DKI ditetapkan Rp172.500 per bulan atau sekitar 69 dolar Amerika Serikat per bulan.

Dalam waktu tidak lebih dari 10 bulan dari menjelang akhir Agustus 1997 hingga rentang Januari-Juli 1998 nilai tukar dolar Amerika Serikat melejit mendekati Rp16.800.

Pada saat dolar Amerika Serikat menyentuh Rp 16.800 itu, kata Napitupulu, UMR DKI ada di angka Rp192.000 per bulan atau setara dengan 11,4 dolar Amerika Serikat.

Dia menerjemahkan deretan angka itu, "Artinya dari 1997 ke 1998 kenaikan UMR hanya Rp20.000 atau sekitar 13 persen, sementara kenaikan nilai dolar Amerika Serikat mencapai 600 persen."

Akibatnya, ujar dia, daya beli masyarakat menjelang reformasi memang menurun sangat tajam, dan membuat banyak perusahaan gulung tikar diikuti PHK massal.

Sementara kondisi saat ini, kata dia, pada saat Jokowi dilantik menjadi presiden, Oktober 2014 nilai tukar dolar Amerika Serikat berada di kisaran Rp12.200 dimana pada saat yang sama UMR DKI berada di angka Rp2.441.000 per bulan. Artinya pada Oktober 2014 UMR DKI setara dengan 200 dolar Amerika Serikat.

Kemudian Juli 2018 saat ini, nilai tukar dolar Amerika Serikat ada di kisaran Rp14.400 dengan UMR DKI Rp 3.648.000 per bulan atau setara dengan 253 dolar Amerika Serikat. Adapun harga telur ayam negeri di angka 29.000-Rp31.000 per kilogram.

"Dari Oktober 2014 hingga Juli 2018 dolar Amerika Serikat merayap naik Rp2.200 atau sekitar 18 persen, sementara UMR DKI mengalami kenaikan dari Rp 2.441.000 menjadi Rp 3.648.000 atau jika dikonversi dengan dolar Amerika Serikat dari 2014 hingga 2018 UMR naik 26 persen dari 200 dolar Amerika Serikat menjadi 253 dolar Amerika Serikat," jelas dia.

Dia menekankan perbandingan kurs dolar Amerika Serikat dengan UMR saat ini menunjukkan, kenaikan kurs dolar Amerika Serikat sebesar 18 persen tidak berdampak pada daya beli layaknya terjadi pada situasi Mei-Juli 1998.

Lebih jauh Adian juga membandingkan tingkat daya beli masyarakat tahun 1998 dengan saat ini.

Pada Juli 1998 besaran UMR Rp192.000 per bulan. Sedangkan harga beras medium saat itu Rp2.800 per kilogram. Artinya pada saat itu rakyat dengan UMR nya hanya dapat membeli 69 kg beras per bulan.

Sedangkan dengan UMR saat ini Rp3.648.000 per bulan dan harga beras medium sesuai Harga Eceran Tertinggi berada di kisaran Rp9.500 hingga Rp10.000 per kg, maka rakyat bisa membeli 364 kg beras hingga 384 kg beras per bulan.

Pewarta: Rangga Jingga
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018