Presiden Recep Tayyip Erdogan mendeklarasikan status darurat pada 20 Juli 2016, lima hari setelah pesawat tempur membombardir Ankara dan bentrokan berdarah meletus di Istanbul dalam upaya kudeta gagal yang merenggut 249 nyawa.
Langkah itu, yang normalnya berlaku tiga bulan tetapi kemudian diperpanjang tujuh kali, berakhir pada pukul 01.00 Kamis (2200 GMT Rabu) menurut siaran kantor berita Anadolu, setelah pemerintah memutuskan untuk tidak mengajukan perpanjangan yang kedelapan kali.
Selama pemberlakuan status darurat tersebut sekitar 80.000 orang ditahan dan sekitar dua kali lipatnya diberhentikan dari pekerjaan di institusi publik.
Pembersihan terbesar dalam sejarah modern Turki itu tidak hanya menyasar mereka yang diduga sebagai pendukung Fetullah Gulen, ulama yang tinggal di Amerika Serikat yang dituduh mendalangi upaya kudeta, tetapi juga aktivis Kurdi dan sayap kiri.
Bekas pemimpin oposisi pro Partai Demokratik Rakyat Kurdi (HDP), Figen Yuksekdag dan Selahattin Demirtas, mendekam di penjara sejak ditangkap pada November 2016 dengan tuduhan punya kaitan dengan militan Kurdi.
Erdogan, yang kembali memenangi pemilihan presiden, dalam kampanye pemilihan presiden bulan lalu menjanjikan status darurat akan diakhiri, demikian menurut siaran kantor berita AFP. (mu)
Baca juga: Turki siapkan UU Antiteror baru setelah status darurat
Pewarta: -
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018