Jakarta (ANTARA News) - KPK menetapkan Bupati Labuhanbatu Provinsi Sumatera Utara Pangonal Harahap sebagai tersangka penerima suap dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi memberikan atau menerima hadiah atau janji kepada Bupati Labuhanbatu terkait proyek-proyek di lingkungan Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara TA 2018.
"KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dengan 3 orang sebagai tersangka yaitu diduga sebagai pemberi pemilik PT BKA (Binivan Konstruksi Abadi) Effendy Sahputra dan diduga sebagai penerima Bupati kabupaten Labuhanbatu 2016-2021 PHH (Pangonal Harahap) dan UMR (Umar Ritonga) swasta," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Rabu.
KPK menduga Pangonal menerima Rp576 juta dari Effendy Sahputra terkait proyek-proyek di lingkungan kabupaten Labuhanbatu, Sumut TA 2018 senilai Rp576 juta yang merupakan bagian dari pemenuhan dari permintaan bupati sekitar Rp3 miliar.
"Sebelumnya sekitar bulan Juli 2018 diduga telah terjadi penyerahan cek sebesar Rp1,5 miliar namun tidak berhasil dicairkan," tambah Saut.
Diduga uang sebesar Rp500 juta diberikan Effendy melalui Umar Ritonga dan seseorang berinisial AT kepada Pangonal yang bersumber dari pencairan dana pembayaran proyek pembangunan RSUD Rantau Prapat kabupaten Labuhanbatu senilai Rp23 miliar.
Pasal yang disangkakan pihak pemberi Effendy Sahputra disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau pasal 13 UU No 31 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Sedangkan sebagai pihak yang diduga penerima, Pangonal Harahap dan Umar Ritonga disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-l KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.
"Peristiwa penerimaan suap sangat kami sesalkan karena masih harus terjadi kembali sangat disesalkan karena harus terjadi, dalam 2018 saja dari 17 OTT yang dilakukan, ada 15 kepala daerah yang jadi tersangka, jadi kalau dihitung dari awal 98 kepala daerah yang diproses dalam 109 perkara dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang," tegas Saut.
Perbuatan korupsi yang dilakukan kepala daerah yang bersekongkol dengan pejabat dinas serta pihak swasta tentu sangat merugikan masyarakat di daerah tersebut.
"Selain berarti melanggar sumpah jabatan yang diucapkan pada awal menjabat, korupsi kepala daerah juga berarti telah mengkhianati masyarakat yang telah memilih dalam proses yang demokratis perbuatan korupsi," tambah Saut.
Hingga saat ini, Pangonal dan Effendy masih diperiksa petugas KPK sedangkan Umar melarikan diri dari KPK saat OTT pada Selasa (17/7).
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018