"Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang paling banyak menangkap teroris, sudah lebih dari 2.000-an. Dan itu semuanya tentu kita berterima kasih kepada Densus 88," kata Wapres Jusuf Kalla saat memberikan pembekalan kepada Calon Perwira Remaja Akademi TNI dan Polri di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu sore.
Dengan banyaknya penanganan aksi terorisme tersebut menunjukkan keseriusan Pemerintah Indonesia, melalui kerja Kepolisian RI, dalam memberantas paham radikalisme.
Wapres mengatakan akibat dari keseriusan Polri dalam menangani kasus terorisme tersebut berdampak pada banyaknya aksi teror yang menyerang polisi di Indonesia.
"Memang akibat dari itu adalah musuh teroris yang pertama adalah polisi, sehingga kantor polisi di beberapa tempat menjadi sasaran teroris. Ya itu memang risiko pekerjaan, kalau berhasil ada efeknya," tambahnya.
Terkait penanganan terhadap terpidana kasus terorisme, Wapres Kalla mengatakan hingga saat ini Pemerintah masih mencari cara yang tepat untuk memberlakukan sistem penahanan bagi para teroris.
Wapres berpendapat apabila para teroris tersebut dipenjarakan di satu tempat, maka paham radikal berpotensi semakin kuat. Sementara jika para terpidana teroris itu dipenjarakan terpisah, maka virus radikal dapat menyebar kepada terpidana non-terorisme lainnya.
"Kalau teroris digabung, mereka bisa jadi universitas. Pengalaman di Irak, ISIS dipimpin oleh Al-Baghdadi yang dulu pernah dipenjara, di sana (penjara) dia memperdalam ilmunya. Jika dipisah teroris itu, maka dia menjadi virus bagi tahanan lain," jelasnya.
Oleh karena itu, dalam menangani terpidana kasus terorisme diperlukan kehati-hatian, khususnya memenjarakan para teroris tersebut harus dengan standar rumah tahanan dan sipir yang baik.
Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018