"Kami mengupayakan ada produksi vaksin `indigenous` dari negara-negara Muslim. Hal ini akan dibahas pada pertemuan rutin berikutnya di Indonesia," kata Direktur Jenderal Departemen Ilmu Pengetahuan dan Teknologi OKI, Irfan Shaukat saat berjumpa dengan sejumlah wartawan dari beberapa negara di kantor sekretariat OKI di Jeddah, Senin (16/7).
Menurut dia, jumlah produksi vaksin dari pabrik vaksin Indonesia, Bio Farma, mencapai sepuluh persen dari total produksi dunia.
"Selain itu, produksi mereka juga selalu memenuhi standar yang ditetapkan oleh badan kesehatan dunia WHO," ujar Irfan, seraya menambahkan bahwa dengan demikian Bio Farma layak menjadi acuan bagi negara-negara Muslim dalam memproduksi vaksin yang sesuai syarat kesehatan internasional.
Dia mengatakan pada pertemuan di Indonesia tersebut, negara-negara anggota OKI akan saling bertukar pengalaman mengenai cara memproduksi vaksin yang sesuai dengan standar WHO.
Sebelumnya, dalam pertemuan pejabat senior pada 5 Desember 2017, Indonesia dipercaya menjadi Pusat Keunggulan (Centre of Excellence) OKI untuk vaksin dan bioteknologi.
Beberapa vaksin yang diproduksi oleh Bio Farma di antaranya adalah vaksin BCG untuk mencegah tuberkulosis, vaksin DTP untuk mencegah difteri, tetanus dan pertussis, vaksin Jerap DT untuk mencegah difteri dan tetanus, dan vaksin campak.
Lebih lanjut Irfan menjelaskan bahwa di beberapa negara anggota OKI ada kampanye anti vaksi karena dianggap bertentangan dengan aturan Islam.
Menyikapi persoalan tersebut, OKI melakukan pendekatan kepada masyarakat di negara-negara Muslim yang masih menolak pemberian vaksin kepada anak-anak dengan melibatkan peran para ulama.
"Kami melibatkan para ulama di negara tersebut guna meluruskan pemahaman yang keliru mengenai vaksin, bahwa pemberian vaksin tidak melanggar hukum agama," ucapnya.
Upaya tersebut berhasil yang ditunjukkan dengan menurunnya kampanye anti vaksin dan meningkatnya jumlah masyarakat untuk mendapatkan vaksin.
Pewarta: Libertina W. Ambari
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018