UWRF 2018 yang akan berlangsung pada 24-28 Oktober itu juga akan menghadirkan Haidar Bagir, seorang penulis, filantropis, dan pendiri salah satu penerbitan terbesar di Indonesia, Mizan Group. Baru-baru ini, Haidar Bagir menerima anugerah "Global Business & Interfaith Peace Award" setelah menggelar dialog antaragama, demikian keterangan pers yang diterima di Jakarta, Senin.
UWRF juga menghadirkan Avianti Armand, penyair sekaligus arsitek yang berhasil memimpin tim kuratorial Indonesia dalam "14th International Architecture Exhibition di Venice tahun 2014", serta penulis sekaligus penyair populer Indonesia, M Aan Mansyur, yang adalah salah satu kurator Makassar International Writers Festival.
Penyelenggaraan UWRF ke-15 ini bertemakan "Jagadhita", diambil dari sebuah filosofi Hindu yang berbicara mengenai kebahagiaan dan kesejahteraan di jagat raya,serta sebuah pencarian manusia akan keselarasan dalam konsep tersebut.
Bukan sebatas para penulis, festival juga akan menyambut Kamila Andini, sineas muda Indonesia yang telah sukses menyutradarai film berjudul "Sekala Niskala". Film tersebut merupakan salah satu film terbaru Indonesia yang paling terkenal, diputar perdana di Toronto International Film Festival 2017 serta telah menerima Grand Jury Prize di Tokyo Filmex, dan Generation Kplus Grand Prix di Berlinale.
Kamila Andini hadir bersama Richard Oh, sutradara kawakan Indonesia yang rencananya akan menayangkan film terbarunya "Love is a Bird" secara perdana di UWRF 2018.
Yang tidak kalah spesial adalah kehadiran Nyoman Nuarta, seniman patung kenamaan Indonesia sekaligus pengagas proyek Mandala Garuda Wisnu Kencana, mega proyek di Bali yang akan diselesaikan setelah 28 tahun tertunda. Pada 17 Agustus 2018 bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-73, Bali akan menjadi rumah bagi patung tertinggi di dunia.
Baca juga: "Aroma Karsa", suguhan baru dari Dewi Lestari
Selain nama-nama pembicara nasional tersebut, UWRF 2018 juga menghadirkan deretan nama pembicara internasional tahap awal yang tidak kalah menarik. Mereka memiliki berbagai latar belakang yang berbeda, terdiri dari penulis, penyair, sutradara, pemain teater, dokter, penari, bahkan akademisi.
Festival akan menyambut Hanif Kureishi, seorang pemain teater, penulis skenario, dan sutradara, yang baru-baru ini tersorot publik internasional karena membela kebijakan keragaman yang dikeluarkan oleh Penguin, sebuah penerbitan internasional.
Ada pula Profesor Gillian Triggs, yang menjabat sebagai Presiden Komisi Hak Asasi Manusia Australia pada 2012-2017. Selama masa jabatannya, Profesor Triggs telah berjasa melakukan penyelidikan kasus anak-anak dalam tahanan imigrasi, yang kemudian memunculkan kontroversi di antara hak politik dan media konservatif.
Kim Scott, seorang novelis kawakan Australia yang karya pertamanya "Benang" (1999) memenangi Miles Franklin Award, hadiah sastra tertinggi di Australia, juga akan hadir dalam panel diskusi dalam UWRF 2018.
Penyair kenamaan India sekaligus novelis dan penari, Tishani Doshi, yang baru-baru ini tersorot karena responnya terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan di India pada Festival Hay 2018, akan hadir bersama penulis, sutradara, dan dokter asal Nigeria, Uzodinma Iweala.
Iweala juga merupakan CEO dari The Africa Centre di New York, yang mempromosikan narasi baru tentang Afrika dan diasporanya yang lebih berfokus pada sisi budaya, kebijakan, dan bisnis.
Penulis memoar dan novelis Pakistan, Fatima Bhutto akan kembali ke UWRF setelah penampilan pertamanya pada 2008. Sementara itu, fokus tentang kesetaraan dan hak eksklusif dalam dunia penerbitan akan diisi oleh penulis asal Singapura kelahiran Indonesia bernama Clarissa Goenawan yang hadir bersama Geoff Dyer, anggota Royal Society of Literature yang karya-karyanya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa.
Ke-16 nama pembicara di atas akan membawakan karya-karya terbaiknya yang berkaitan dengan tema terpilih UWRF 2018, "Jagadhita", yang diartikan sebagai "The World We Create" (Dunia yang Kita Ciptakan).
Baca juga: Jagaditha, filosofi kebahagiaan dan kesejahteraan jadi tema UWRF 2018
Selama lima hari penyelenggaraan festival, UWRF mengajak para pengunjungnya untuk mempertimbangkan kembali seperti apa dunia yang telah kita ciptakan, maupun peristiwa-peristiwa di dunia yang dengan atau tanpa sengaja telah berlangsung karena kehadiran manusia.
"Kita akan bersama-sama mengurai masalah dan menemukan solusi bagi dunia yang selama ini kita tinggali," kata Founder & Director UWRF Janet DeNeefe.
Sejak digelar pertama kali sebagai usaha pemulihan atas tragedi bom Bali yang pertama, UWRF menjadi salah satu testival terbaik untuk bertukar ide, inspirasi, dan gagasan dari seluruh dunia. Para sastrawan, cendekiawan, seniman, pegiat, dan akademisi telah sama-sama saling membagi kisah dan suara hebatnya dalam festival ini.
"Berawal dari ide sederhana 15 tahun yang lalu, kami telah berkembang menjadi wadah yang cukup dikenal untuk menampilkan para penulis dan seniman, baik mereka yang masih baru atau yang sudah ternama. Festival ini telah menjadi salah satu acara sastra dan seni terkemuka di dunia," kata Janet.
UWRF, menurut Janet, menyatukan suara-suara paling berpengaruh di dunia dalam sebuah diskusi penting dan pertukaran ide yang berharga.
"Di UWRF, batas budaya dan geografis seolah hilang saat para pembicara dan peserta panel kami membaur menjadi sebuah komunitas global," ujar dia.
Pewarta: Yashinta Difa
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018