Jakarta (ANTARA News) - Industri pengolahan berbasis sumber daya alam masih menunjukkan kinerja yang cukup baik dan mengalami surplus perdagangan.

Capaian positif ini perlu dijaga di tengah kondisi tekanan terhadap nilai Rupiah dan isu perang dagang antara Amerika Serikat dengan China yang mulai terasa dampaknya pada neraca perdagangan internasional.

“Oleh karena itu, kinerja yang baik ini harus terus dijaga melalui pengambilan kebijakan yang tepat untuk mengatasi segala hambatannya,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian, Ngakan Timur Antara di Jakarta, Jumat.

Berdasarkan catatan Kemenperin, pada Mei 2018, sektor manufaktur yang mengalami surplus adalah industri kayu, barang dari kayu dan gabus sebesar 387,32 juta dolar AS, industri kertas dan barang dari kertas 310,71 juta dolar AS, serta industri furnitur 101,90 juta dolar AS.

Selain itu, sub sektor lainnnya, industri pakaian jadi juga menunjukkan surplus perdagangan senilai 696,29 juta dolar AS.

Ngakan menyebutkan, pemerintah telah memiliki langkah-langkah strategis guna meningkatkan daya saing dan nilai ekspor bagi industri manufaktur nasional. Misalnya, pengoptimalan fasilitas fiskal dan menjamin ketersediaan bahan baku.

“Upaya ini sejalan dengan roadmap Making Indonesia 4.0 dalam mengimplementasikan revolusi industri keempat di Tanah Air,” jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengakui, depresiasi nilai Rupiah membawa dampak terhadap sektor perindustrian. Ada industri yang diuntungkan dan ada pula yang dilemahkan dengan kondisi tersebut.

“Untuk industri yang berbasis bahan baku domestik, seperti CPO (Crude Palm Oil), itu diuntungkan," ujarnya.

Sedangkan, industri yang komponen impornya masih tinggi maupun dunia usaha yang memiliki utang di luar negeri tentu mengalami tekanan lebih berat.

Menperin menegaskan, pihaknya konsisten untuk mendorong pertumbuhan populasi industri hilir pengolahan minyak sawit di dalam negeri.

Hal ini karena produksi CPO nasional diperkirakan mencapai 42 juta ton pada tahun 2020.

“Hilirisasi industri akan meningkatkan nilai tambah dan kemampuan dalam menghasilkan produk yang beragam dan inovatif,” tuturnya.

Salah satu sektor hilir minyak sawit yang tengah dipacu pengembangannya adalah subsektor industri oleokimia.

“Pasar produk oleokimia, baik di domestik maupun ekspor, masih terbuka luas karena merupakan kebutuhan bahan baku bagi sejumlah industri,” ujarnya.

Di samping itu, industri oleokimia dinilai sebagai sektor yang strategis karena selain memiliki keunggulan komparatif melalui ketersediaan bahan baku yang melimpah, juga memberikan nilai tambah produksi yang cukup tinggi yakni di atas 40 persen dari nilai bahan bakunya.

Bahkan, Indonesia berpeluang menjadi pusat industri sawit global untuk keperluan pangan, non-pangan, dan bahan bakar terbarukan.

Kemenperin mencatat, Indonesia berkontribusi sebesar 48 persen dari produksi CPO dunia dan menguasai 52 persen pasar ekspor minyak sawit.

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018