Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah akan menekan biaya eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi (migas) yang dikembalikan ke kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) atau"cost recovery" dengan melakukan langkah efisiensi secara menyeluruh. "Perlu dilakukan upaya menekan `cost recovery` dengan meningkatkan efisiensi secara menyeluruh," kata Irjen Departemen ESDM, Suryantoro, saat membacakan hasil diskusi "cost recovery" yang menghadirkan sejumlah pihak terkait di Jakarta, Kamis malam. Dalam acara yang dibuka dan ditutup Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro tersebut, upaya lainnya, menurut Suryantoro, adalah melakukan pengawasan secara ketat atau perbaikan implementasi kontrak bagi hasil (KKS) yang di dalamnya termasuk "cost recovery." Selain itu, lanjutnya, adalah perlunya kajian atas KKS yang ada, termasuk melengkapinya "standard operation procedure" (SOP) dan perlunya pedoman yang memberi arahan secara tegas dalam penerapan KKS, demikian pula "cost recovery." Suryantoro juga mengatakan dalam diskusi juga berkembang hal-hal positif atas pelaksanaan "cost recovery" selama ini, "cost recovery" diatur secara legal dalam kontrak, kenaikan kontribusi negara lebih tinggi dibandingkan peningkatan "cost recovery," penurunan produksi minyak tidak bisa dibandingkan dengan penurunan produksi minyak, dan model KKS akan diadopsi negara lain. "Namun sisi negatifnya adalah ada hal-hal yang tidak diatur secara jelas atau masuk ke dalam `grey area` dan kurangnya koordinasi antarpengawas," katanya. Kepala Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), Kardaya Warnika, mengemukakan apabila "cost recovery" tidak boleh dinaikkan, maka produksi migas Indonesia juga tidak naik. Sebab, salah satu penyebab naiknya "cost recovery" adalah kenaikan investasi. "Kita malah harus investasi untuk naikkan produksi. Pengurangan `cost recovery` adalah dengan efisiensi yakni kurangi hal-hal yang tidak perlu dilakukan. Misalkan, mengurangi jumlah tenaga kerja asing, kalau memang tidak perlu," katanya. Pengamat migas Kurtubi mengusulkan agar mengubah BP Migas sebagai BUMN, sehingga bisa diawasi kinerjanya secara maksimal. "Tanpa pengawas, BP Migas sulit dikontrol," katanya. Dengan berubah menjadi BUMN, lanjutnya, BP Migas bisa berperan sebagai pemasar hasil migas Indonesia. "Sedang, fungsi pengawasan kembali lagi ke pemerintah," ujarnya. (*)

Copyright © ANTARA 2007