"Saya melihat DOM ini untuk menteri dan pejabat sederajat mendapatkan gaji Rp19 juta, karena itu dalam menjalankan tugasnya pemerintah memberikan dana operasional sebanyak Rp120 juta yang sejak 2006 diatur di Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) yang kemudian diperbaiki dalam PMK Nomor 268 yang memberikan keleluasaan untuk menggunakan dana operasional menteri," kata Jusuf Kalla dalam sidang Suryadharma Ali di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu.
JK menjadi saksi yang dihadirkan oleh Suryadharma dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) perkara korupsi DOM dan pelaksanaan ibadah haji periode 2010-2013. JK menjadi saksi dalam kapasitasnya sebagai wakil presiden periode 2004-2009.
"Apa pemerintah mementapkan dana tersebut?" tanya penasihat hukum Suryadharma, Rullyandi.
"Dalam PMK yang berlaku mulai 31 Desember 2014, 80 persen itu lump sum (dibayarkan sekaligus) secara bulat diberikan kepada menteri, lalu 20 persen dana yang lebih fleksibel, sehingga itu semua tergantung menteri yang menggunakan dana itu," tambah Kalla.
JK juga menjelaskan PMK No 3 tahun 2006 tentang Dana Operasional Menteri yang menurut dia memerlukan pertanggungjawaban administratif DOM.
"Namun keluarnya PMK yang baru berarti mencabut PMK No 3 itu, sehingga tidak perlu ada pertanggungjawaban detail lagi, sehingga yang 2006 itu tidak berlaku lagi setelah keluar PMK yang baru," ungkap Kalla.
Prinsip penggunaan DOM, menurut dia, fleksibel dan diskresi.
"Artinya tergantung kebijakan menterinya, begitulah prinsip dari lump sum dan diskresi, karena dianggap sekian tahun gaji menteri tidak naik sehingga diberi keleluasaan itu, jadi fleksibel sekali," tambah Kalla.
"Kalau kemudian Bapak sampaikan penggunaan DOM sampai urusan anak dan cucu, lantas pembatasan DOM itu apa?" tanya jaksa KPK Abdul Basir.
"Yang mengeluarkan DOM langsung Menkeu, bahwa DOM itu fleksibel dan diskresi pada menteri yang bersangkutan, tapi jangan dilupakan kegiatan menteri itu juga ada dalam mendukung tugas dan kewajibannya," katanya.
Bentuk pertanggungjawabannya, menurut dia, tidak perlu detail.
"Karena lump sum jadi begitu dipakai tidak perlu detail, bulat-bulat diberikan, jadi pengeluarannya diskresi menteri, sedangkan yang 20 persen harus dirinci. Katakanlah ada tamu diberikan tiket pulang, jadi ya boleh kecuali yang 20 persen harus jelas pertanggungjawabannya," tegas Kalla.
Dalam perkara ini, Suryadharma terbukti melakukan sejumlah tindak pidana korupsi, termasuk menunjuk Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) selama 2010-2013 sekaligus pendamping Amirul Hajj (pemimpin rombongan haji) yang tidak kompeten yaitu istrinya Wardatul Asriya, anak, menantu, ajudan, pegawai pribadi, sopir, sopir istri hingga pendukung istrinya.
Selanjutnya Suryadharma juga menggunakan DOM hingga Rp1,821 miliar untuk kepentingan pribadi yang tidak sesuai dengan asas dan tujuan penggunaan DOM seperti untuk pengobatan anak, pengurusan visa, tiket pesawat, pelayanan bandara, transportasi dan akomodasi Suryadharma, keluarga dan ajudan ke Australia dan Singapura hingga membayar pajak pribadi tahun 2011, langganan TV kabel, internet, perpanjangan STNK Mercedes Benz serta pengurusan paspor cucu.
Suryadharma Ali juga menunjuk sejumlah majmuah (konsorsium) penyedian perumahan di Jeddah dan Madinah sesuai dengan keinginannya sendiri menggunakan plafon dengan harga tertinggi sehingga menyebabkan kerugian negara hingga 15,498 juta riyal karena penggunaan harga plafon sebagai harga kontrak dan tidak ada negosiasi maka terjadi kemahalan pengadaan perumahan yaitu kemahalan perumahan di Madinah 14,094 juta riyal dan hotel transito Jeddah sejumlah 1,404 juta riyal.
Terakhir Suryadharma dianggap menyalahgunakan sisa kuota haji periode 2010-2012 sehingga memberangkatkan 1.771 orang jemaah haji dan memperkaya jemaah tersebut karena tetap berangkat haji meskipun kurang bayar hingga Rp12,328 miliar yang terdiri dari 161 orang jemaah haji pada 2010 senilai Rp732,575 juta; 639 jemaah haji pada 2011 sejumlah Rp4,173 miliar; dan 971 jemaah hai sejumlah Rp7,422 miliar.
Baca juga: JK bersaksi di sidang Suryadharma Ali
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018