Hal ini dikatakan Din dalam konferesi pers para pemuka agama di Indonesia menanggapi maraknya komunikasi dialektik khususnya di media sosial dengan ujaran kebencian, penghinaan terhadap sesama, dan penonjolan kepentingan politik sektarian pada Selasa di Jakarta.
"Keprihatinan mendalam atas suasana demikian dan mengkhawatirkannya dapat menimbulkan benih permusuhan yang membawa perpecahan bangsa," kata Din.
Menurut dia, harusnya masyarakat cenderung memusyawarahkan perbedaan pandangan politik dengan penuh rasa persaudaraan demi keutuhan dan kemajuan bangsa.
Din berpesan kepada segenap keluarga besar bangsa agar perbedaan pandangan politik tidak memutuskn silaturahmi kebangsaan.
"Seluruh pihak harusnya menyadari bahwa demokrasi adalah cara beradab dalam memilih pemimpin maka bangsa perlu membudayakan demokrasi berkeadaban," kata dia.
Menurut Din, penonjolan identitas kelompok dalam berpolitik adalah absah selama hal tersebut tidak menghina kelompok lain dan tidak menimbulkan sektarianisme politik ekstrem yang menegasi kelompok lain.
"Justru harusnya meletakkan perjuangan politik demi kepentingan bangsa secara bersama-sama," kata dia.
Din pun berpesan kepada seluruh keluarga besar bangsa agar tetap menampilkan aspirasi dalam mengamalkan demokrasi.
"Harusnya berlomba dalam kebaikan dan keadaban. Terlalu mahal harga yang harus dibayar bangsa jika demokrasi membawa tragedi," kata dia.
Selain Din, acara ini dihadiri pula oleh Pendeta Henrek Lokra dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Romo Agus Wahyanan dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Wisnu Bawa Tenaya, Arief Harsono dari Perhimpunan Majelis Agama Budha Indonesia (Permabudhi), dan Uung Sendana dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin).
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018