Jakarta (ANTARA News) - Buku pertama yang secara khusus mengulas hidup dan karya 34 perempuan perupa Indonesia berjudul "Indonesian Women Artist: The Curtain Opens", diluncurkan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Rabu malam. Peluncuran buku itu, sekaligus menandai pembukaan pameran seni rupa bertajuk "Intimate Distance" (1-10 Agustus 2007) yang menampilkan karya-karya mereka. Tiga penulisnya, Carla Bianpoen, Farah Wardani, dan Wulan Dirgantoro, berupaya menjadikan buku berbahasa Inggris yang diterbitkan Yayasan Seni Rupa Indonesia itu sebagai tonggak penting dalam telaah dan pendokumentasian sejarah perempuan perupa Indonesia. Terlebih, kajian posisi para perempuan perupa dalam sejarah seni rupa Indonesia sangat langka, terbatas dalam bentuk ulasan pendek suratkabar, majalah, atau katalog pameran. "Di tengah kelangkaan buku yang ditulis secara sungguh-sungguh mengenai seni rupa Indonesia, buku ini merupakan sumbangan yang sangat penting, terutama bagi khalayak yang hendak mengetahui lebih jauh wajah seni rupa kita," kata Ketua Umum YSRI Miranda S Goeltom. Carla, Farah, dan Wulan adalah tiga sosok perempuan yang memiliki kompetensi menggambarkan perempuan perupa Indonesia. Carla yang dikenal sebagai wartawan lepas bidang seni budaya merupakan alumni Universitas Wilhelms (Jerman) 50 tahun lalu, Farah merupakan kurator dan penulis dan alumni pascasarjana sejarah seni Goldsmith College (Inggris), Wulan juga kurator dan penulis, alumni pascasarjana Universitas Melbourne (Australia). Membukukan 34 perempuan perupa bukan perkara mudah bagi ketiga penulis, karena mereka yang ditulis berada pada rentang waktu yang sangat panjang, mulai dari Emiria Soenassa (1894-1964) hingga Prilla Tania yang tergabung dalam kelompok seni Videobabes kelahiran Bandung 1979. Selengkapnya, ke-34 perempuan perupa yang menjadi obyek penulisan buku ini adalah Emiria Soenassa (1895-1964), Masmundari (1904-2005), Kartika Affandi (1934), Rita Widagdo (1938), Umi Dachlan (1942), Nunung WS (1948), Hildawati Soemantri (1945-2003), Edith Ratna (1946), Iriantine Karnaya (1950). Lalu, Dolorosa Sinaga (1952), Heyi Ma`mun (1952), Astari Rasjid (1953), Yani Mariani Sastranegara (1955), Marida Nasution (1956), Dyan Anggraini (1957), Altje Ully (1958), Yanuar Ernawati (1959), Hening Purnamawati (1960), Mella Jaarsma (1960), Marintan Sirait (1960), Arahmaiani (1961), I GAK Murniasih (1966-2006). Kemudian, Tiarma Dame Ruth Sirait (1968), Tita Rubi (1968), Melati Suryodarmo (1969), Wara Anindyah (1969), Erica Hestu Wahyuni (1971), Bunga Jeruk (1972), Tintin Wulia (1972), Ay Tjoe Christine (1973), Diah Yulianti (1973), Laksmi Shitaresmi (1974), Caroline Rika (1976), dan Endang Lestari (1976). Sementara karya yang disorot dalam buku ini adalah karya-karya perupa perempuan pada periode 1940 - 2007. Emiria, yang bergiat dalam kurun 1940-1950-an menampilkan perempuan yang bersumber pada cerita-cerita pribumi, sosok-sosok puak dan model dari kalangan jelata, yang sangat patut dipandang sebagai karya feminis awal. Ironisnya, meski giat menggelar pameran dan bahkan mendapat berbagai hadiah, ia tidak pernah diberi penghormatan yang layak dalam sejarah seni rupa modern Indonesia. Sejarah seni rupa modern Indonesia hampir semua ditulis oleh laki-laki dan berkisah tentang para perupa laki-laki. Lukisan karya Emiria berjudul "Mutiara Bermain" yang dibuat selama empat tahun sejak 1942, menggambarkan dua perempuan telanjang sedang menari di belahan mutiara pada dasar laut, menunjukkan betapa tertindasnya perempuan kala itu, terlebih di masa penjajahan Jepang yang memandang perempuan sebagai pemuas nafsu birahi. Konsep Modernisme Seiring dengan perjalanan waktu, dalam dasawarsa 1950-an, terutama dengan berdirinya ASRI (sekarang Institut Seni Indonesia) di Yogyakarta dan Fakultas Seni Rupa ITB menumbuhkan pula perempuan perupa. Rita Widagdo misalnya, menjadi dosen patung terkemuka di ITB. Konsep modernisme dalam seni rupa dan seni abstrak sudah banyak diperhatikan dan terwariskan dari perempuan bernama asli Wizemann, warganegara Jerman yang menjadi WNI setelah menikah dengan Widagdo ini. Dalam kurun hingga 1966 muncul Heyi dan Umi yang meneruskan jejak Rita di ITB. Sementara Nunung WS menjadi mahasiswi pertama yang masuk ke Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera) ketika dibuka tahun 1967. Sedangkan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Hildawati yang alumni ITB mendirikan Studio Keramik tahun 1977 dan Edith Ratna meletakan dasar-dasar estetika dalam seni patung. Sejumlah mahasiswa mereka ketika itu antara lain Dolorosa dan Yani Mariani. Dalam buku ini disebutkan, posisi sejumlah perempuan perupa di akademi telah merangsang makin banyak diskusi di kalangan mahasiswa tentang bagaimana seni dapat mengubah cara pandang terhadap budaya, temasuk soal-soal perempuan dan gender, membawa dekonstruksi norma. Terpengaruh soal-soal sosial politik era 1970-an, seniman mengubah cara mereka mengeksplorasi kreativitas, dari segi medium maupun praktik. Manifesto Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) misalnya, menjadi titik balik seni rupa modern Indonesia. Seni rupa tak bisa lagi hanya berupa lukisan atau patung yang dijuluki seni tinggi. Seni adalah sarana membuat pernyataan budaya atau politik, forum inovasi gagasan dan media. Sikap dasar GSRB memperlihatkan pengaruh kuat dari Gerakan Fluxus dari masa 1960-an akhir di Eropa dan AS yang juga menegaskan kuatnya dinamika pemberdayaan feminis waktu itu. Hilda memperkenalkan seni instalasi yang menggunakan keping-keping keramik dan menjadi perupa pertama yang melakukan hal itu. Namun, dengan menguatnya pemerintahan Orde Baru sepanjang dasawarsa 1980-an, ekspresi di berbagai media dikekang, termasuk kesenian. Pada medan seni rupa muncul makin banyak perempuan seniman dalam kurun itu, meski kegiatan mereka hanya di kalangan elit dan perempuan kelas menengah perkotaan. Organisasi-organisasi seperti Kelompok Sembilan dan IPWI (Ikatan Pelukis Wanita Indonesia) sering dipandang sebagai kumpulan pelukis waktu senggang. Kartini Subekti, mantan diplomat dan seniman yang mendirikan IPWI tahun 1985 menampik pandangan bahwa IPWI atau organisasi peremuan perupa lain hanya kumpulan pehobi yang remeh. IPWI beranggotakan sekitar 200 orang tersebar di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bandung, meskipun organisasi ini nyaris tak terdengar lagi. Dalam kurun 1990-an diskursus seni rupa kontemporer mencuat ke permukaan dan membentuk medan baru bagi seni visual global. Medan baru ini berubah secara signifikan karena makin banyak perempuan perupa menampilkan pernyataan yang lebih lantang tentang subjektivitas keperempuanan mereka. Arahmaiani, Doloros, Yanuar, Astari Rajid jelas-jelas memunculkan jenis persoalan ini dalam karya mereka. Keruntuhan rezim Orde Baru pada 1998 dan dorongan reformasi membawa perubahan drastis di Indonesia, mencipta landasan baru bagi praktik seni visual Indonesia era 2000-an. Generasi perempuan perupa kelahiran dasawarsa 1970-1980-an, mulai menggunakan sekian banyak ragam media dengan pendekatan yang lebih mutakhir dan interdisipliner, tak hanya manual, tetapi juga digital. Ketika ketiga penulis ditanyakan apakah ke-34 perempuan perupa yang ditulis dalam buku itu telah mewakili perjalanan perempuan perupa di Indonesia, Carla, Farah, dan Wulan tidak memberikan jawaban yang pasti. Mereka hanya mengatakan ke-34 perempuan perupa itu dipilih berdasarkan berbagai kriteria yang tak dapat digeneralisasikan menjadi seperangkat parameter yang tetap. "Buku ini menawarkan landasan bagi kajian mendatang tentang perspektif perempuan dalam seni rupa Indonesia," kata Carla. Ia hanya bisa memastikan bahwa dengan penulisan buku tersebut, tirai perempuan perupa dan seni rupa Indonesia telah terbuka. "Dan akan tetap terbuka," katanya, meski diakui bahwa dunia internasional belum akrab dengan eksistensi perempuan perupa Indonesia.(*)
Oleh Oleh Budi Setiawanto
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007