Tokyo (ANTARA News) - Pemerintah Jepang ternyata sedang membangun 13 lagi pembangkit listrik tenaga nuklirnya (PLTN), meski baru saja salah satu fasilitas nuklirnya di Niigata, mengalami persoalan akibat peristiwa gempa bumi dashyat di provinsi itu pada 16 Juli lalu. Hal tersebut diketahui Antara Tokyo, saat mengikuti pertemuan rombongan Indonesia yang dipimpin Deputi Menristek bidang Dinamika Masyarakat Prof. Dr. Carunia Mulya Firdausly dengan Badan Energi dan Sumber Daya Jepang di Tokyo, Kamis. Dalam pertemuan itu juga diikuti oleh Badan Keselamatan Nuklir Jepang. Dialog tersebut berlangsung di kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang (METI). Masalah teknologi nuklir memang berada dalam tanggungjawab kementrian METI, selain mengurusi ekonomi dan perdagangan Carunia Firdausly di dampingi sejumlah ormas keagamaan dan kepemudaan serta seorang anggota Komisi VII DPR. Sedangkan dari Jepang dihadiri Direktur Hubungan Energi Nuklir Internasional Kenji Kimura, Wakil Direktur Perencanaan Energi Nuklir Masaomi Koyama. Ikut memberikan masukan Wakil Direktur Pengembangan Fasilitas Nuklir dan Distribusi Energi Nuklir Yoshifumi Miyamoto dan Direktur Pelatihan dan Humas mengenai Keselamatan Nuklir Uichiro Yoshimura dari Badan Keselamatan Nuklir Jepang. "Jepang saat ini memiliki 55 pembangkit nuklir komersial, dan merencanakan membangun lagi unit-unit PLTN yang baru," ujar Masaomi Koyama saat paparan mengenai kebijakan energi nuklir Jepang dihadapan sepuluh anggota rombongan Indonesia. Saat ini dua PLTN sedang dalam tahap pembangunan, sedangkan sebelas lagi masih dalam tahap persiapan pembangunan. Semua fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir itu tersebar di seantero Jepang. Menyinggung soal prencanaan masa depan nuklirnya, Koyama mengemukakan bahwa sikap Jepang terhadap nuklir internasional adalah harus dikoordinasikan, guna mencegah hal-hal yang dapat membahayakan kehidupan manusia. "Saat ini makin banyak negara yang memanfaatkan nuklir, sehingga terjadi globalisasi nuklir. Akibatnya pemerintah Jepang sangat memperhatikan kecenderungan yang terjadi itu," ujarnya. Sempat disinggung juga dampak gempa Niigata. Oleh Jepang hal itu diterangkan bahwa tidak terdapat ancaman bahaya seperti yag diberitakan media massa. "Kebocoran radioaktif yang ada masih jauh dari ambang batas normal. Sama seperti seseorang melakukan perjalanan dari Tokyo ke New York yang akan menghirup kadar radioaltif yang snagat rendah," ujarnya. Walaupun memiliki PLTN terbesar di dunia (di Niigata), Jepang ternyata merupakan negara dengan rasio kecukupan energi nuklir yang paling rendah di antara negara-negara maju di dunia. Kebijakan untuk beralih ke nuklir Jepang dilakukan setelah negera itu mengalami krisis minyak yang hebat tahun 1973. Dimana ketergantungan terhadap minyak mencapai 73 persen dari keseluruhan energi yang dibutuhkan. Energi nuklir baru memasok sekitar tiga persen saat itu, sementara LNG dua persen dan 16 persen lagi disuplai oleh energi terbarukan. Sejak 2004, suplai nuklir mencapai 30 persen (terus naik menjadi 40 persen), sedangkan LNG 28 persen dan minyak hanya memasok 10 persen saja kebutuhan energi Jepang. Semakin Dibutuhkan Mengapa Jepang terlihat seperti agresif soal energi nuklir, itu karena semakin terbatasnya energi yang dimiliki dan bangkitnya perekonomian China dan India yang menuntut pasokan energi yang tinggi pula. "Saat ini total volume listrik di China meningkat pesat dari tahun ke tahun. Dari 116 miliar kwh di tahun 2000 menjadi 292 miliar kwh pada 2003," ujar Koyama. Jepang sendiri kebuuthan listriknya pada 2005 mencapai 918 kwh. Permasalahan lain yang memaksa Jepang kebut dalam proyek nuklirnya adalah masalah pemanasan global yang diakibatkan pembuangan gas CO2. Sementara energi nuklir hanya sedikit sekali menghasilkan gas buangan CO2. Selain Jepang, rombongan Indonesia juga telah mengunjungi Korea Selatan untuk melakukan studi banding yang sama. Mengomentari keberadaan nuklir di kedua negara itu, anggota Komisi VII DPR Muhammad Najib mengatakan, pengalaman yang bisa dipetik dari kedua negara itu adalah pembangunan PLTN justru membawa peningkatan kesejahtaraan bagi rakyat sekitarnya. "Ini yang harus diyakinkan kepada rakyat Indonesia," ujar anggota kaukus nuklir di DPR itu. Saat ini Indonesia merencanakan pembangunan PLTN di gunung Muria, Jepara, Jawa Tengah, namun mendapat penolakan dari rakyat, menyusul kekhawatiran yang besar terhadap dampak nulir bagi masyarakat lokal.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007