Utang `unstainable` Dipasena dari Rp3,5 triliun menjadi Rp1,9 triliun normal saja karena perubahan kurs, karena nominalnya menggunakan mata uang asing."

Jakarta (ANTARA News) - Mantan Mantan Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) sebagai Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Rizal Ramli mengakui perubahan nilai kewajiban Sjamsul Nursalim dari Rp3,5 triliun menjadi Rp1,9 triliun karena perubahan kurs.

"Utang `unstainable` Dipasena dari Rp3,5 triliun menjadi Rp1,9 triliun normal saja karena perubahan kurs, karena nominalnya menggunakan mata uang asing," kata Rizal dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Rizal bersaksi untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004 didakwa bersama-sama dengan Ketua KKSK Dorojatun Kuntjoro-Jakti serta pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang merugikan keuangan negara Rp4,58 triliun.

BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. Berdasarkan perhitungan BPPN, BDNI per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun. Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Syamsul Nursalim.

BPPN pada 27 April 2000 memutuskan utang petambak yang dapat ditagih adalah Rp1,34 triliun dan utang yang tidak dapat ditagih yaitu Rp3,55 triiun diwajibkan untuk dibayar kepada pemilik atau pemegang saham PT DCD dan PT WM. Namun Sjamsul Nursalim juga tidak bersedia memenuhi usulan restrukturisasi tersebut.

Utang PT DCD yang awalnya Rp3,55 triliun direstrukturisasi menjadi tinggal Rp1,9 triliun karena menggunakan nilai tukar Rp7000 per dolar AS di bawah KKSK yang diketuai Rizal Ramli.

"Keputusan itu di dalam rapat bersama KKSK dan ada juga BPPN. Dalam rapat juga ditemukan adanya `irregularities` dan misrepresentaasi, sehingga pemegang saham dan direksi punya tanggung jawab finansial dan dan bisa menjadi subjek hukum ketika ditemukan laporan tidak faktual," jelas Rizal Ramli.

Rizal pun menjelaskan bahwa BDNI masih punya kewajiban utang Rp28 triliun tapi belum termasuk utang petambak yang seharusnya menjadi tanggung jawab BDNI karena kredit petambak itu macet.

"Memang petambak demostrasi dan menjadi ramai, jadi BPPN mengusulkan restrukturisai terutama petambaknya. Kami setujui agar utang petambak menjadi Rp1,3 triliun, dan utang yang tadinya Rp135 juta/petambak kami kurangi menjadi Rp100 juta/petambak sehingga total tagihan petambak Rp1,3 triliun dan kewajiban oleh BDNI atau PT.Dipasena memasok modal kerja untuk melakukan segala cara agar petambak pulih," jelas Rizal.

Sedangkan sisa kewajiban Rp3,5 triliun menjadi tanggung jawab BDNI sehingga kewajiban BDNI bertambah dari tadinya Rp28,5 triliun menjadi total Rp32 triliun.

"Tapi seperti yang dikatakan Bapak Ketua BPPN Edwin Gerungan tadi, BDNI `ngeyel`, tidak terima dan bolak-balik mengatakan hanya mau menyerahkan Rp455 miliar. Pak Edwin berkali-kali melakukan pertemuan untuk menagih agar yang bisa tunai dibayar tunai, sisanya dari perusahaan-perusahaan yang dijanjikan kepemilikannya, tapi alot," ungkap Rizal.

Ia mengakui bahwa terjadi beberapa pertemuan di rumahnya bahkan mengundang Jaksa Agung saat itu Marzuki Darusman dan stafnya dan notaris Kartini Mulyadi sebagai legal officer dari KKSK, namun belum ada solusi.

"Sampai saya berakhir masa jabatannya dan diganti Pak Dorodjatun sebagai Menko dan Pak Ari Sutta sebagai ketua BPPN lalu digantikan Pak Syafruddin. Memang ada kerugian negara tapi saat BPPN menyerahkan ke Menteri Keuangan akhir tahun 2005, nilainya aset BPPN Rp4,5 triliun aneh bin ajaib pada 2007 dijual Rp200 miliar oleh Menkeu Sri Mulyani saat itu," tambah Rizal.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018