Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah aktivis prodemokrasi dan perseorangan warga negara menggugat ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para pemohon untuk perkara ini adalah mantan ketua KPK Busyro Muqoddas, mantan menteri keuangan M. Chatib Basri, mantan pimpinan KPU Hadar Nafis Gumay, mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari, sutradara film Angga Dwimas Sasongko, Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, Direktur Perludem Titi Anggraini, Hasan Yahya, dan tiga orang akademisi. Tiga orang akademisi tersebut adalah Faisal Basri, Rocky Gerung, dan Robertus Robert.
"Sebetulnya kami memandang Pasal 222 dalam UU Pemilu, di mana dalam pasal tersebut adalah pengaturan tentang syarat pencalonan, jadi, bukan hanya mengatur tata cara yang sebetulnya diperintahkan oleh konstitusi kita," ujar salah satu pemohon, Hadar Nafis Gumay di Gedung MK Jakarta, Kamis.
Hadar menyebut ambang batas 25 persen berdasarkan Pasal 222 UU Pemilu telah menambahkan batasan baru yang tidak diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Menurut para pemohon, hal ini bertentangan dengan norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang hanya mengatur parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu sesuai perumusan norma tersebut.
"Berdasarkan Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, tidak ada pembatasan ambang batas pencalonan presiden, apalagi berdasarkan jumlah kursi dan suara sah nasional pemilu DPR berdasarkan hasil pemilu lima tahun sebelumnya," kata Hadar.
Hadar juga menyinggung tentang Putusan MK sebelumnya yang menyatakan pasal terkait ambang batas pencalonan presiden adalah konstitusional karena merupakan norma hukum yang terbuka.
Menurut para pemohon, ketentuan pasal undang-undang terkait ambang batas pencalonan presiden bukanlah penerapan dari konsep norma hukum terbuka karena UUD 1945 secara jelas telah memberikan batasan syarat dan tata cara pemilihan presiden yang harus dilakukan.
Selain itu, para pemohon berpendapat Pasal 222 UU Pemilu mendasarkan penghitungan ambang batas pencalonan presiden berdasarkan hasil pemilu DPR yang lima tahun sebelumnya, sehingga menghilangkan hak rakyat untuk memperbarui mandat lima tahunan.
Dalam petitumnya, para pemohon kemudian meminta Majelis Hakim agar membatalkan keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden.
Baca juga: Ambang batas pencalonan presiden di UU Pemilu digugat lagi
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018