Jakarta (ANTARA News) - Baterai sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia modern, untuk membuat jam dinding bekerja, agar senter menyala atau menyalakan remote televisi.
Apa yang Anda lakukan ketika baterainya sudah tidak bekerja? Membuangnya langsung ke tempat sampah? Hati-hati, sampah baterai yang dibuang sembarangan bisa berdampak buruk bagi kesehatan.
Rafa Jafar (15) alias RJ memaparkannya dalam bahasa sederhana untuk pembaca muda di buku terbarunya berjudul "Sampah Baterai".
Atas kepeduliannya di bidang lingkungan, remaja kelahiran 7 Februari 2003 itu sudah mendapatkan sederet prestasi dan penghargaan, di antaranya menjadi Duta Aksi & Suara Orang Muda SDGs 2017 dan diundang sebagai duta cilik untuk berbicara di Konferensi Perubahan Iklim PBB di Maroko pada November 2016.
Remaja peduli lingkungan itu sebelumnya sudah pernah menerbitkan buku "E-waste (Sampah Elektronik)" saat baru berusia 11 tahun, kini ia ingin membahas tema yang lebih mengerucut di buku kedua.
"Sampah baterai itu racunnya banyak, jadi sangat berbahaya," papar pemilik nama panjang Muhammad Rafa Ibnusina itu dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.
Salah satu tanda yang jelas terlihat untuk mengetahui baterai itu bocor adalah dari bubuk-bubuk putih di sekitar baterai. Bubuk itu adalah residu yang keluar dari baterai bocor yang bisa membuat iritasi bila terkena kulit.
Baterai bekas dikategorikan ke dalam limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) karena mengandung logam berat yang bisa berdampak buruk bila masuk ke tubuh manusia.
Kandungan berbahaya itu dapat tersebar bila baterai dibuang asal-asalan.
Misalnya, zat merkuri yang terbuang ke laut dan dikonsumsi ikan dapat berujung ke meja makan dan dikonsumsi oleh manusia.
Padahal merkuri dapat merusak sistem saraf pusat, menghambat perkembangan anak, meracuni janin pada orang hamil sampai kematian.
Masih ada beberapa logam berat lainnya yang terkandung dalam baterai, seperti timbal dan kadmium.
Buang, Bakar, Timbun
Tiga kesalahan lazim yang dilakukan orang saat membuang sampah baterai adalah membuangnya ke tempat sampah, membakar atau menimbunnya dalam tanah. Ketiganya dapat berakibat buruk bagi manusia.
Baterai yang dibuang sembarangan dapat berujung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Penanganan yang tidak seharusnya bisa membuat zat berbahaya dalam baterai mencemari tanah dan air di sekitarnya.
Membakar baterai bekas juga berbahaya karena bahan beracunnya tersebar melalui asap, sementara menimbunnya juga dapat mencemari tanah.
"Saya pernah bereksperimen, baterai bekas yang bocor di dalam tanah membuat tanaman jadi layu," kata remaja yang bercita-cita jadi menteri luar negeri itu.
Solusi
Sampah elektronik seperti baterai bekas harus diperlakukan secara istimewa, jangan mencampurkannya dengan sampah lain.
Selama tiga tahun terakhir, Rafa mengampanyekan Peduli Sampah Elektronik dengan cara menyediakan kotak sampah elektronik e-Waste di area publik.
Lokasi dropbox terus berganti. Nantinya, sampah elektronik yang terkumpul disalurkan ke pusat pengolahan yang akan mengubahnya jadi bahan baku produksi baru.
Gerakan tersebut sudah meluas hingga ke Yogyakarta, Palembang hingga Depok berkat para relawan peduli lingkungan.
Langkah kecil ini diharapkan dapat membawa Indonesia mengikuti jejak-jejak negara maju yang sudah punya sistem pengolahan limbah elektronik seperti Jepang dan AS.
Tuti Hendrawati, Tenaga Ahli Menteri Bidang Kebijakan Pengelolaan Sampah, mendukung inisiasi RJ untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memilah sampah elektronik.
"Kesadaran masyarakat memang masih kurang," kata Tuti.
Dia berharap kelak semoga makin banyak orang yang bisa mendaur ulang limbah elektronik jadi barang bernilai.
"Di Jepang, e-waste didaur ulang untuk membuat emas yang akan dipakai untuk medali olimpiade," ujar Tuti.
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018