Tokyo (ANTARA News) - Pelatih timnas Jepang Ivica Osim membuktikan dirinya piawai dalam mengolah kata-kata untuk menjadi retorika yang "menyihir" media massa. Gaya retorika Osim mengingatkan kepada para pelatih bahwa sepakbola bukan sebatas taktik di lapangan, melainkan pembawaan diri yang hangat kepada semua orang dengan dibalut humor menyegarkan. Meski ia gagal mambawa pasukan Samurai Biru meraih juara ketiga Piala Asia 2007, sejumlah kutipan pernyataannya yang dikemas dalam sebuah buku kini laku di Jepang. Humor seakan tidak lepas dari hidup pelatih asal Bosnia yang kini berusia 66 tahun itu. Meski Jepang kalah 5-6 lewat adu penalti dari tim Korea Selatan, Osim menunjukkan diri sebagai pelatih yang tegar menerima kekalahan. Apalagi posisi Jepang sebagai juara bertahan. Di kuarter-final, Jepang tidak mampu memecah kebuntuan skor 1-1 meski lawannya Australia bermain dengan 10 orang karena satu pemain terkena kartu merah dari wasit. Jepang akhirnya mengalahkah The Socceroos 4-3 lewat adu penalti. "Kemenangan ini jadi metafor yang mengherankan ketika kita menyaksikannya," katanya. Ketika Jepang kalah 2-3 dari Arab Saudi di semi-final, Osim menunjuk bahwa tim Samurai Biru justru tidak menunjuk pemain belakang ekstra untuk menjaga striker Malek Maaz dan Yasser Al Qahtani. Osim mengatakan dirinya telah mengambil resiko pemain yang diturunkan sebagai gelandang tampil sebagai "pemain yang indah". "Bukankah permainan seperti itu lebih menarik? Taktik seperti itu membuat pertandingan lebih terbuka dan menampilkan sepakbola indah," kata Osim yang membawa tim Yugoslavia masuk ke kuarter-final Piala Dunia 1990 meski waktu itu negaranya menghadapi masalah multietnis. Osim kerapkali tampil kebapakan di antara pemain yang rata memiliki tinggi badan 190 centimeter. Ia menolak untuk menyaksikan adu penalti saat anak asuhannya mengalahkan tim Australia. Ia memilih bersembunyi di kamar ganti pemain, demikian AFP.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007