Pontianak (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Erry Riyana Hardjapamekas mengakui, meski penanganan kasus korupsi menimbulkan efek jera, namun masih ada pihak yang semakin berani dalam melakukan tindak pidana korupsi. Di sela seminar Sosialisasi Anti Korupsi di Pontianak, Rabu, ia mengatakan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia oleh Transparency International menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. "Sejak KPK dibentuk tiga tahun lalu, IPK Indonesia terus memperlihatkan peningkatan. Tahun 2006 misalnya 2,4 dan ditargetkan menjadi 3,5 tahun ini," kata Erry. Namun, lanjutnya, meski terjadi penurunan tindak pidana korupsi bukan berarti menghilangkannya menjadi nol persen. Ia juga meminta semua pihak mencermati pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) terutama dalam penghimpunan dana untuk kampanye publik. "Pimpinan daerah kumpulkan uang untuk kampanye publik. Dari mana apakah sumbangan atau harus dikembalikan saat menjabat," ujarnya setengah bertanya. Menurut Erry, kalau harus dikembalikan, maka kepala daerah bersangkutan akan mengumpulkan uang untuk membayar "utang budi" tersebut. "Kalau dananya diambil dari anggaran daerah, sudah pasti korupsi. Tapi kalau dari pihak ketiga, harus dilihat batasannya. Kalau melebihi batasan yang diatur bisa jadi tindak pidana umum," kata Erry. Pada kesempatan itu Erry juga menyesalkan sikap gubernur se Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) agar mendapat kebijakan khusus terkait penanganan korupsi yang diduga melibatkan mereka. "Keinginan itu agak berlebihan karena dapat menimbulkan kecemburuan pihak lain yang juga diduga terkait kasus yang sama," kata Erry. Ia mengingatkan gubernur dan kepala daerah lainnya supaya tidak takut untuk diduga melakukan tindak pidana korupsi sepanjang tetap melaksanakan kaidah hukum yang berlaku dalam mengelola keuangan daerah.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007