Jakarta (ANTARA News) - Sebagai warga desa terpencil Mus Mulyadi, 43, tidak pernah membayangkan bisa bersua muka dengan orang nomor satu di Indonesia. Namun tanpa diduga ia memperoleh momen langka tersebut.
Petani dari pedalaman Bengkalis, Riau, ini berjumpa dan berdialog dengan Presiden Joko Widodo di Jakarta, saat diundang dalam pembukaan acara Konvensi dan Pameran Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA), Mei lalu.
Mus merupakan pionir dan tokoh kunci dalam meningkatkan taraf hidup warga Sakai, suku asli Riau, melalui program pertanian terpadu. Dia dikenal pula sebagai inovator dalam menerapkan manajemen pertanian dan peternakan modern yang ramah lingkungan dan produktif.
Pergulatan Mus Mulyadi dalam program pertanian berawal dari kerisauan hatinya melihat lahan luas di Pematang Pudu, Duri, yang terbengkalai. Hanya segelintir masyarakat Suku Sakai yang mau memanfaatkan lahan tersebut untuk kegiatan produktif seperti pertanian dan peternakan. Mereka terbiasa dengan kehidupan sehari-hari mengambil hasil hutan serta berladang dengan berpindah-pindah.
Mus pun bertekad mengubah kondisi tersebut walaupun disadari mengubah kebiasaan lama tidak mudah. Keyakinannya sangat kuat untuk menjadikan lahan yang terbengkalai menjadi sumber kehidupan bagi warga.
Namun Mus juga paham bahwa melakukan suatu perubahan tidak bisa dipikul sendirian. Ia lalu memutuskan untuk menggandeng PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dari pemerintah RI, yang mengoperasikan lapangan migas di Riau.
Gayung bersambut, manajemen Chevron bersedia membantu dan mendorong masyarakat Sakai membentuk kelompok pertanian terpadu. Mus langsung diminta menjadi ketua Kelompok Pertanian Terpadu Masyarakat Sakai Pematang Pudu.
Kelompok tani ini mulai merintis kegiatannya sejak 2012, ketika menjadi penerima manfaat program investasi sosial Chevron atau semacam program tanggungjawab sosial perusahaan (CSR).
Pada tahap awal, para petani Sakai diberikan pembinaan dan pelatihan. Namun, seperti yang Mus Mulyadi perkirakan sebelumnya, ada beberapa saudara sesukunya yang tidak betah. "Tapi bagi saya tidak masalah. Pelan-pelan dan bagi saya terasa sangat bermanfaat," ungkapnya.
Setelah pembinaan dan pelatihan, para petani diberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan, antara lain pupuk dan juga pendampingan.
Upaya tersebut membuahkan hasil positif. Komoditas pertanian yang dihasilkan mulai beragam antara lain kangkung, cabai dan kacang panjang. Program ini kemudian merambah berbagai sektor yaitu perikanan darat di empang atau kolam untuk jenis ikan lele, ikan patin, lalu peternakan unggas yaitu ayam, bebek, dan burung puyuh.
Tak hanya itu, Mus juga berhasil membangun jejaring dan akses kerja sama masyarakat Sakai dengan pemerintah, institusi keuangan serta pasar untuk menciptakan pertanian terpadu yang berkelanjutan.
"Jika memiliki keinginan yang kuat untuk berubah, kita pasti berhasil. Hal yang begini kita harus tularkan kepada anggota masyarakat Sakai lainnya. Sekarang Sakai bertani profesional," ucap Mus Mulyadi.
Senior Vice President Policy, Government and Public Affairs Chevron di Indonesia, Yanto Sianipar mengatakan program pembinaan pertanian terpadu masyarakat Suku Sakai merupakan bagian dari PRISMA (Promoting Sustainable Integrated Farming, Small Enterprise Cluster and Microfinance Access). Ini adalah suatu inisiatif yang berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menyasar para petani, pelaku usaha mikro, serta kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang tersebar di wilayah operasi Chevron.
Selain bertujuan menciptakan kemandirian masyarakat melalui pelatihan pengembangan kapasitas serta bantuan teknis, program itu menawarkan bantuan pinjaman melalui lembaga keuangan mikro kepada kelompok tani, usaha kecil, dan koperasi.
Hingga kini PRISMA telah mendukung lebih dari 1.200 mitra binaan. Pelaksanaannya mencakup 36 sektor, termasuk pertanian, perikanan, komoditas makanan olahan, industri kreatif seperti kerajinan tenun, batik, serta desa wisata berwawasan lingkungan dan budaya.
CPI juga membantu mendirikan sentra-sentra Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di sekitar wilayah operasinya. "Sentra UKM berfungsi sebagai rumah dagang dan pusat bimbingan usaha," katanya.
Saat acara pembukaan Konvensi dan Pameran IPA ke-42, Mus Mulyadi hadir bersama dua penerima manfaat lainnya dari program investasi sosial CPI. Mereka adalah Wan Syamsinar dan dan Lambas Hutabarat.
Syamsinar, 62, merupakan pembina kelompok perajin tenun songket Melayu di Dumai. Kegiatan yang dia tekuni turut berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat sekitar dan pelestarian warisan budaya Melayu.
Sementara itu, Lambas, 39, merupakan pengelola Bank Sampah Pematang Pudu Bersih (BSPPB) di Pematang Pudu, Duri. Dia mempromosikan dan menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat melalui pengelolaan sampah yang bernilai ekonomis.
Selain pengembangan ekonomi lokal, investasi sosial CPI fokus di bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan, rehabilitasi bencana, dan budaya.
Praktisi komunikasi di industri migas, Dony Indrawan, menilai kegiatan investasi sosial adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan operasional perusahaan migas di Indonesia. Kegiatan tersebut merupakan nilai yang tertanam dan menjadi pegangan dimanapun industri ini beroperasi.
Karena itu isunya bukan lagi bicara berapa dananya, apakah ini masuk "cost recovery" (dana yang dikembalikan oleh negara) atau tidak. Bagi industri migas di Tanah Air, kemitraan dengan masyarakat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari setiap kegiatan operasional perusahaan.
Namun yang juga penting dari proses itu adalah upaya untuk meningkatkan produktivitas dan mengembalikan pinjaman modal yang diberikan. Dengan begitu, masyarakat tidak lagi bergantung kepada perusahaan serta memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan mereka sendiri.
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018