Jakarta (ANTARA News) - Setelah diresmikan oleh Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno tepat pada Hari Kebangunan Nasional (sekarang Hari Kebangkitan Nasional), 20 Mei 1953 atau 65 tahun lalu, Tugu Muda di Kota Semarang, Jawa Tengah, masih tegak berdiri.
Badannya yang terbuat dari batu tetap kokoh, sekokoh tekad masyarakat Semarang yang bergotong royong memberikan sumbangan untuk memuluskan pembangunannya mulai Mei 1952.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Indonesia mencatat, biaya mendirikan bangunan dengan pijar api di puncaknya ini tidak murah, yaitu sekitar Rp300 juta. Pada tahun 1952, itu tentu jumlah yang sangat besar.
Tugu Muda berada di sebuah taman yang menjadi titik bertemunya Jalan Imam Bonjol, Jalan Pemuda, Jalan Pandanaran dan Jalan Mgr. Sugiyapranata. Lokasi ini merupakan bekas wilayah Taman Wilhelmina.
Sejatinya pembangunan tugu setinggi 53 meter ini tidak berjalan mulus. Awalnya, Tugu Muda rencananya berada di Alun-alun Semarang, bahkan Gubernur Jawa Tengah kala itu Wongsonegoro sudah melakukan peletakan batu pertama pada 28 Oktober 1945.
Namun, niatan tersebut batal setelah pasukan gabungan dari Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (Nederlandsch Indi? Civil Administratie/ NICA) serta Bantuan untuk Tawanan Perang dan Interniran (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees/RAPWI) membongkar bangunan awal itu.
Jika tanpa kekerasan tekad, mustahil tugu tersebut bisa menjulang seperti sekarang.
Semangat yang sama pula ditegakkan putra-putri pemberani Semarang kala berjuang mempertahankan tegaknya harga diri kebangsaan mereka yang diwujudkan dalam sebuah peristiwa penting, yaitu Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Ini adalah kejadian bersejarah yang menjadi alasan mengapa Tugu Muda didirikan.
Diawali Perlucutan
Pertempuran Lima Hari di Semarang berawal dari kebijakan Sekutu untuk melucuti senjata Jepang yang menyerah tanpa syarat pada 14 Agustus 1945.
Pemimpin tertinggi pasukan Sekutu di Asia Tenggara Louis Mountbatten, tanpa memedulikan pemerintahan baru Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945, memerintahkan kepada seluruh personel militer Jepang di seluruh wilayah Asia Tenggara untuk bertekuk lutut dan menyerahkan senjatanya kepada Sekutu.
Namun, Han Bing Siong, mantan lektor hukum pidana Universitas Indonesia serta direktur di Kementerian Pendidikan dan Sains Belanda, dalam tulisannya berjudul "The Secret of Major Kido: The Battle of Semarang, 15-19 October 1945" yang dipublikasikan pada tahun 1996, mengungkapkan bahwa pelucutan Jepang tidak berjalan seperti yang dibayangkan.
"Seperti kata sejarawan perang Inggris, `adalah sebuah angan-angan` jika meyakini orang-orang Jepang mematuhi perintah dengan loyal dan mempertahankan status quo hingga mereka dilepaskan oleh Sekutu," tulis Bing Siong.
Di Indonesia, para pemuda juga menanggapi seruan Mountbatten. Akan tetapi, alih-alih ke Sekutu, Jepang didesak menyerahkan persenjataannya kepada pihak Indonesia yang telah merdeka mulai 17 Agustus 1945.
Negosiasi digelar terkait hal tersebut. Di Jawa Tengah, tepatnya 4 Oktober 1945, pihak Jepang yang diwakili Panglima Tentara Jepang di Jawa-Madura Mayor Jenderal Nakamura dan komandan garnisun Jepang Mayor Kido Shinichiro, sementara Indonesia diwaklili Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro.
Hasilnya, pihak Jepang berjanji memberikan ratusan pucuk senapan dan ribuan amunisi kepada pihak Republik. Namun ternyata, negosiasi tahap kedua harus digelar, kali ini bertempat di Kantor Gubernur Jawa Tengah. Ternyata, Mayor Kido merasa keberatan untuk memberikan senjatanya.
"Jika anda terus meminta pemberian senjata, anda bisa melakukannya setelah saya mati. Dan ketika itu terjadi, anak buah saya akan menyerbu dan melewati mayat saya, menghancurkan para perusuh dengan segenap kekuatan dengan memanfaatkan senjata apa saja yang ada di tangan mereka," ujar Mayor Kido ketika itu, dikutip dari buku Ken`ichi Goto, "Tensions of Empire - Japan and Southeast Asia in the Colonial and Postcolonial World (2003).
Para pemuda Semarang yang didominasi anggota Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) kemudian berinisiatif untuk menekan Kido dan pasukannya yang dikenal sebagai Kido Butai.
Jepang mengartikan tindakan para pemuda Semarang sebagai ancaman dan dengan kekuatannya mereka mencari pemuda Semarang yang bersenjata dan tembak menembak pun terjadi.
Han Bing Siong mengisahkan, pada 14 Oktober 1945, Jepang melucuti senjata personel militer Indonesia di sekitar tandon air Siranda, daerah Candi Baru. Bermula dari sana, tersiar kabar penampung air yang dibangun pada tahun 1912 itu diracuni oleh Jepang.
Masyarakat panik karena Siranda merupakan sumber air bersih mereka. Seorang dokter sekaligus ahli dari laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) bernama Kariadi pergi untuk melakukan pengecekan langsung.
Akan tetapi, dalam perjalanan ke sana tepatnya ketika melewati Jalan Pandanaran yang juga dikenal dengan Hoogenraadslaan, Kariadi ditembak tentara Jepang dan meninggal dunia.
Dalam Relief
Kabar meninggalnya dokter Kariadi menyebar cepat dan membuat suasana Semarang memanas. Putra-putri bangsa yang merasa harga diri mereka diinjak-injak melakukan balasan.
Tanggal 14 Oktober 1945 malam sekitar pukul 20.30 atau 23.00 WIB, di Hoogenraadslaan sekitar lokasi tertembaknya dokter Kariadi, terjadi pertempuran antara Polisi Istimewa Indonesia dan tawanan Jepang yang dua hari sebelumnya dipindahkan dari Cepiring, Kendal.
Han Bing Siong menyebut, tawanan Jepang berani melawan karena mereka mendengar Kido Butai memang akan menyerang Indonesia keesokan harinya.
Dan benar saja, pada 15 Oktober 1945 Kido Butai melakukan serangan dan menyerbu kantong-kantong pertahanan militer Indonesia di Semarang, dari di tengah kota yang utamanya di sekitar Tugu Muda hingga, dikutip dari laman historia.id, ke kampung-kampung.
Hal itu yang membuat anggapan yang mengatakan bahwa Kido Butai mulai menembakkan senjata karena milisi Indonesia menangkapi dan menyerang tawanan Jepang yang ada di Penjara Bulu (sekarang Lembaga Permasyarakatan Wanita Bulu) yang memang dilakukan pada 14 Oktober 1945 malam.
Intensitas kekerasan Jepang semakin meningkat tatkala mendengar Mayor Jenderal Nakamura ditawan pasukan Indonesia di Magelang, Jawa Tengah.
Dalam laman Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya, Kemendikbud menyebut Kido Butai membunuh setiap pemuda yang ditemui dan menguasai Asrama Pemuda, Gedung Gubernuran, Penjara Bulu dan Rumah Sakit Purusada.
Pasukan Indonesia semakin terdesak karena kekurangan perlengkapan. Setelah melewati pertarungan yang intens dan diwarnai penawanan Gubernur Jateng Wongsonegoro dan Kepala Purusara dokter Soekardjo, Jepang dan Indonesia kembali memasuki tahap perundingan demi meredakan situasi.
Negosiasi tetap berjalan buntu dan pertempuran berlanjut sampai akhirnya pada 19 Oktober 1945 sekutu yang sudah tiba di Semarang terlibat dalam pembicaraan dengan Jepang dan Indonesia.
Semua pihak kemudian sepakat melakukan gencatan senjata. Kabar itu disebarluaskan ke semua wilayah Semarang melalui konvoi dan berakhirlah pertempuran selama lima hari yang diyakini Ken`ichi Goto memakan 187 korban dari militer Jepang dan 2.000 orang dari pihak Indonesia tersebut.
Demi menjaga ingatan tentang Pertempuran Lima Hari di Semarang, di sisi badan Tugu Muda terukir gambaran mengenai perjuangan rakyat ketika itu yang dituangkan dalam relief.
Pemahat asal Aceh, Joeski, mengabadikan perang skala besar pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan tersebut dalam pahatannya di sisi badan Tugu Muda.
Karya itu kemudian dilengkapi oleh relief yang mengingatkan bangsa Indonesia atas ribuan korban yang berjatuhan di Pertempuran Lima Hari Semarang hasil karya pemahat Nasir Bondan dari Banten.
Djony Trisno dari Salatiga, Jawa Tengah, lalu menyelesaikan bagian yang memperlihatkan pengorbanan para pahlawan saat peristiwa itu terjadi.
Ketiga pahatan relief tersebut dipadukan dengan tiga ukiran lainnya dari Edhi Sunarso, Bakri dan Roestamadji yang membuat Tugu Muda semakin kental dengan memori-memori sejarah yang tak bisa pudar.
Dan sampai sekarang, warga Semarang selalu merayakan peringatan Pertempuran Lima Hari Semarang setiap tanggal 14 Oktober di kawasan Tugu Muda.
Indonesia, khususnya Semarang, sepatutnya bangga pernah memiliki pahlawan yang rela mengorbankan nyawa dan meninggalkan jejaknya di setiap usaha memperjuangkan, mempertahankan kemerdekaan.
Semua jasa mereka, tak pantas kita lupa.
Pewarta: Michael Teguh Adiputra S
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018