Kami menyatakan banding. Hari ini juga kami membuat akta banding."
Jakarta (ANTARA News) - Advokat Fredrich Yunadi divonis tujuh tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider lima bulan kurungan karena terbukti merintangi pemeriksaan Setya Novanto dalam perkara korupsi kartu tanda penduduk berbasis database tunggal nasional secara elektronik (KTP-el).
"Mengadili, menyatakan terdakwa Fredrich Yunadi telah terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja merintangi penyidikan perkara korupsi. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 7 tahun ditambah denda sebesar Rp500 juta dengan ketentuan bila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 5 bulan," kata hakim Saifuddin Zuhri di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang menuntut agar Fredrich divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider enam bulan kurungan.
Majelis hakim yang terdiri dari Saifuddin Zuhri, Mahfuddin, Duta Baskara, Titi Sansiwi dan Sigit menyatakan Fredrich terbukti berdasarkan dakwaan pasal 21 Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 KUHP.
"Hal yang memberatkan, terdakwa tidak mengakui perbuatan dan tidak berterus terang, tidak membantu pemerintah untuk mendukung program pemberantasan korupsi, terdakwa menunjukkan sikap tutur kata kurang sopan dan mencari-cari kesalahan pihak lain," ujar hakim Saifuddin.
Sedangkan, majelis hakim menilai, hal yang meringankan adalah Fredrich belum pernah dihukum dan punya tanggungan keluarga.
Fredrich sebagai pengacara mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov), yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan KTP-el oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memberikan saran agar Setya tidak perlu datang memenuhi panggilan penyidik KPK dengan alasan untuk proses pemanggilan terhadap anggota DPR harus ada izin dari Presiden, selain itu melakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
Pada 15 November 2017 Setya Novanto tidak datang memenuhi panggilan Penyidik KPK, sehingga penyidik pun datang ke rumah Setnov pada malam harinya dan menemukan Fredrich di rumah itu.
Saat ditanya keberadaan Setnov, Fredrich mengaku tidak mengetahui, padahal sebelumnya menemuI Setnov di Gedung DPR. Setnov sudah lebih dulu pergi dari rumah bersama Azis Samual dan Reza Pahlevi (ajudannya) menuju Bogor dan menginap di Hotel Sentul, Jawa Barat.
Pada 16 November 2017 Fredrich menghubungi dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo untuk meminta bantuan agar Setnov dapat dirawat inap di RS Medika Permata Hijau dengan diagnosa menderita beberapa penyakit, dan salah satunya adalah hipertensi.
Bimanesh Sutarjo pun menyanggupi, meski tahu Setnov sedang berkasus di KPK, dan menghubungi Plt. Manajer Pelayanan Medik RS Medika Permata Hijau dokter Alia agar disiapkan ruang bagi orang sangat penting (very important person/VIP) rawat inap atas nama Setya Novanto.
Pada sekitar pukul 17.30 WIB Fredrich juga datang ke RS Modika Parmata Hijau menemui dokter Michael Chia Cahaya di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) meminta dibuatkan surat pangantar rawat inap atas nama Setya Novanto dengan diagnosa kecelakaan mobil. Michael menolak permintaan itu.
Atas penolakan itu, Bimanesh membuat surat pengantar rawat inap manggunakan formulir surat pasian baru IGD, padahal dirinya bukan dokter jaga IGD, sehingga tidak memenuhi prosedur standar operasional (standard operational procedure/SOP).
Sekira pukul 18.45 WIB, Setya Novanto tiba di RS Medika Permata Hijau dan langsung dibawa ke kamar VIP 323.
Setelah Setnov dirawat inap, Fredrich memberikan keterangan di RS Medika Permata Hijau kepada wartawan bahwa kliennya mengalami luka parah dengan beberapa bagian tubuh berdarah-darah, serta terdapat benjolan pada dahi sebesar bakpao.
Padahal, Setnov hanya mengalami beberapa luka ringan pada bagian dahi, pelipis kiri dan leher sebelah kiri serta lengan kiri.
Sekira pukul 21.00 WIB Penyidik KPK datang ke RS Medika Permata Hijau mengecek kondisi Setnov, dan ternyata tidak mengalami luka serius. Namun, Fredrich menyampaikan bahwa Setnov sedang dalam perawatan intensif dari Bimanesh sehingga tidak dapat dimintai keterangan.
Fredrich juga meminta Mansur, satuan pengamanan (satpam) RS Medika Permata Hijau, agar menyampaikan kepada penyidik KPK untuk meninggalkan ruang VIP di lantai 3, yang sebagian kamarnya sudah disewa keluarga Setnov dengan alasan mengganggu pasien yang sedang beristirahat.
Pada 17 November 2017, penyidik KPK hendak melakukan penahanan kepada Setya Novanto, namun Fredrich menolak penahanan tersebut dengan alasan tidak sah karena kliennya sedang dalam kondisi dirawat inap.
Padahal, setelah dilakukan pemeriksaan oleh tim dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) kesimpulannya menyatakan bahwa Setya Novanto dalam kondisi mampu untuk dimintai keterangan (fit to be questioned).
"Terdakwa terbukti merintangi atau menggagalkan penyidikan Setya Novanto dalam perkara korupsi KTP-e. Terdakwa tidak sendirian, tapi bekerja sama dengan dokter Bimanesh Sutardjo, padahal dokter Bimanesh mengetahui Setya Novanto dicari-cari KPK, tapi malah dimasukkan ke RS dengan melanggar SOP rumah sakit, sehingga unsur bersama-sama memenuhi," demikian hakim Sigit.
Terhadap putusan itu, Fredrich langsung menyatakan banding.
"Kami menyatakan banding. Hari ini juga kami membuat akta banding," kata Fredrich, dengan nada suara meninggi.
Baca juga: Fredrich menuduh jaksa mencoba mengubah konstitusi
Baca juga: Nota pembelaan Fredrich Yunadi setebal 1.865 halaman
Baca juga: Alasan di balik tebalnya pledoi Fredrich Yunadi
Baca juga: Bimanesh nilai kecelakaan Setya Novanto rekayasa
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2018