Jakarta (ANTARA News) - Ahli perbankan dan masalah keuangan, Eko Supriyanto, menyatakan, kasus penyelesaian permasalahan Bantuan Luikiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menyeret mantan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsjad Temenggung, tidak layak dipersidangkan.
"Karena sudah menyelesaikan kewajiban MSAA untuk memberikan kepastian hukum," kata dia, di Jakarta Rabu.
Ia mengatakan, seluruh penyelesaian persoalan BLBI dianggap tindak pidana korupsi sehingga muncul ketidakadilan padahal pemerintah sudah membuat kebijakan terhadap pihak yang kooperatif mendapat insentif dan tidak dikenakan penalti.
Sebanyak lima pemegang saham perusahaan yang telah menyelesaikan kewajiban melalui MSAA, yakni Anthony Salim (BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), M Hassan (BUN), Sudwikatmono (Bank Surya), dan Ibrahim Risyad (RSI).
Terkait BDNI, Badan Pemeriksa Keuangan menyimpulkan Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan karena BDNI telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati MSAA dan perubahan sesuai kesepakatan pemerintah Instruksi Presiden Nomor 8/2002 pada 30 November 2006.
Supriyanto mengungkapkan, tindakan pemerintah menghadapi krisis keuangan global pada 1997 melalui prinsip "out of court settlement" dalam bentuk Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
PKPS itu dengan skema Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) dan Akte Pengakuan Utang (APU).
Era Presiden Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati, telah membuat kebijakan penyehatan perbankan.
Pada masa pemerintahan Soeharto dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada Januari 1998.
Program rekapitalisasi perbankan yang tujuannya untuk mengembalikan fungsi perbankan dilakukan saat Habibie memimpin.
Selanjutnya, Gus Dur membentuk Komite Kebijakan Sektor Keuangan dengan Keppres 177/1999 yang memberikan pedoman kepada BPPN.
Pada 2000, disahkan UU Nomor 25/2000 tentang PROPENAS yang antara lain memberikan landasan kebijakan untuk memberikan insentif kepada para obligor yang kooperatif dan pemberian pinalti kepada obligor yang tidak kooperatif.
Sejak 2001, pemerintahan Megawati menetapkan kebijakan-kebijakan untuk melanjutkan penanganan dampak krisis ekonomi dan kondisi perbankan, terutama terkait pengambil-alihan aset obligor serta penjualan aset.
Ditetapkan TAP MPR X/2001 dan TAP MPR VI/2002 yang mengamanatkan kebijakan MSAA dan MRNIA secara konsisten dengan UU Propenas.
Pewarta: Taufik Ridwan
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018