Manila (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia menilai bahwa proses rekonsiliasi tidak harus selalu melalui sistem pengadilan, sehingga akan tetap melanjutkan pencarian kebenaran perkara kerusuhan pra-dan-pasca-jajak pendapat 1999 di Timor Timur melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP).
"Saya melihat dari awal, tidak ada cara lain menyelesaikannya tanpa melalui pencarian kebenaran dan rekonsiliasi, yang kemudian oleh Timor Leste, istilah rekonsiliasi diganti menjadi persahabatan," kata Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda di Manila hari Senin, di sela-sela rangkaian acara pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN AMM ke-40.
Jadi, tambah dia, yang paling utama adalah menemukan kebenaran, tidak perlu lagi menakar kebenaran mana.
"Temukan kebenaran, tidak perlu ditakar-takar yang mana. Ya kebenaran," katanya.
Menurut Hassan, filsafat dasar pendekatan cara kerja KKP bukan penghukuman, namun rekonsiliasi.
Mengenai penolakan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap keabsahan KKP, sehingga melarang pejabat badan dunia itu datang memberikan keterangan kepada KKP, karena KKP menyarankan ampunan kepada pelaku, Hassan mengatakan bahwa itu berawal dari pola pikir Barat, yang selalu mendasarkan kebenaran dengan pendekatan hukum.
Menurut Hassan, PBB berpendapat seperti itu karena prinsipnya memang seperti itu, namun PBB juga tidak memberikan pilihan bagi penyelesaian masalah tersebut.
"Mengapa dua negara berdaulat tidak boleh mencapai penyelesaian dengan cara yang mereka putuskan secara bebas," katanya.
Menurut Hassan, Indonesia-Timor Leste sepakat membentuk KKP, karena menyadari ada kepentingan lebih besar mengenai cara menyelesaikan masalah masa lalu dan menciptakan hubungan persahabatan.
Dulu, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Afrika Selatan juga berhasil melakukan rekonsiliasi dan hasilnya diterima dunia.
Pada kesempatan itu, Hassan juga menjelaskan bahwa pengadilan di Yugoslavia, yang dibentuk PBB, tidak sepenuhnya berhasil, karena hanya mampu menghukum Milosevic, sedangkan yang lain masih berkeliaran di luar.
Pengadilan bentukan PBB untuk perkara pelanggaran berat hak asasi manusia di Kamboja juga sampai sekarang tidak ada prosesnya. Hal itu, menurut Hassan, merupakan bukti bahwa pendekatan hukum belum tentu menyelesaikan masalah. (*)
Copyright © ANTARA 2007