Jakarta (ANTARA News) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai memiliki peran yang signifikan dalam menjaga stabilitas sektor keuangan Indonesia meski saat ini nilai tukar rupiah terdepresiasi relatif sangat rendah dibandingkan negara-negara berkembang lainnya, kata pengamat di Jakarta, Senin.
President Director Center for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri berpendapat kondisi ini tentu lebih disebabkan oleh kebijakan fiskal pemerintah yang akomodatif dan kebijakan OJK yang menjalankan pengawasan secara kredibel. Mengingat Bank Indonesia (BI) secara relatif sangat lamban dalam mengantisipasi pelemahan rupiah lewat kebijakan suku bunga acuannya.
Pengawasan OJK ini, menurut Deni, selaras dengan kebijakan menekan pengeluaran (expenditure switching) yang tengah dijalan oleh Pemerintah Indonesia untuk menghidupkan sektor riil. Sektor yang relatif mandeg beberapa waktu lalu karena pengaruh kebijakan ekonomi pemerintahan sebelumnya yang telat dalam menerapkan kebijakan menekan pengeluaran.
"Dalam pemerintahan Jokowi-JK dengan dukungan jangkar sektor keuangan yang dilakukan OJK maka pelemahan rupiah bukan saja terukur tetapi juga berdampak positif bagi sektor keuangan di Indonesia," ungkap Deni Daruri dalam pernyataan persnya.
Padahal, Deni menambahkan, defisit necara berjalan terhadap produk domestik bruto (PDB), Indonesia sama dengan India. Tengok saja, rupiah melemah tehadap dolar AS sebesar 4,8 persen per 20 Juni dibandingkan dengan keadaan 12 bulan yang lalu. Sementara lira melemah sebesar 33,5 persen pada periode yang sama begitu pula peso yang melemah sebesar 72,67 persen pada periode yang sama.
Demikian juga rupee juga melemah sebesar 5,58 persen pada periode yang sama. "Artinya, rupee melemah lebih cepat dari rupiah, karena stabilitas sektor keuangan di Indonesia lebih ajeg ketimbang stabilitas ektor keuangan di India. Stabilitas sektor keuangan di India relatif lebih lemah karena pengaruh penerapan redenominasi mata uang yang membuat sektor keuangan terkena dampak penerapan redenominasi," katanya.
Deni juga menggambarkan dalam denominasi dolar AS, dibandingkan dengan harga saham gabungan akhir tahun 2017, indeks harga saham gabungan (IHSG) Indonesia, India, Argentina dan Turki masing-masing terkoreksi sebesar 9,8 persen, 3,2 persen, 34,2 persen dan 34,4 persen. "Ini memeprlihatkan bahwa kondisi pasar modal di Indonesia juga secara relatif tidak drop seperti yang terjadi di Turki dan Argentina," ujarnya.
Terkoreksinya harga saham di negara berkembang, menurut Deni, lebih disebabkan oleh lemahnya mata uang lokal dibandingkan terhadap dolar AS dan kinerja masing-masing perusahaan yang tercatat di pasar modal. Perusahaan yang tercatat bukan saja perusahaan di sektor keuangan, tetapi juga perusahaan yang bergerak pada sektor non keuangan seperti pertanian dan manufaktur.
Dengan begitu, ungkap Deni, pelemahan IHSG denominasi dalam dolar AS tidak dapat diketakan bahwa stabilitas sektor keuangan melemah mengingat saham adalah barang normal dimana permintaannya akan bertambah ketika pendapatan masyarakat bertambah, yang berarti bahwa barang tersebut memiliki elastisitas permintaan positif.
Dengan demikian pernyataan yang mengatakan bahwa stabilitas sektor keuangan melemah karena IIHSG terkoreksi, menurut Deni, bukanlah pendapat yang tepat. Pendapat itu sama saja dengan mengatakan bahwa saham itu merupakan barang inferior yang juga sama saja kelirunya.
Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018