Depok (ANTARA News) - Sepinya peringatan 27 Juli dinilai karena era sesudah Soehartoisme, peristiwa itu telah kehilangan roh politik sehingga tidak begitu menarik untuk dikenang lagi.
Hal tersebut dikatakan analis politik FISIP Universitas Indonesia (UI), Boni Hargens, di Depok, Minggu, menanggapi sepinya peringatan hari 27 Juli tahun 2007 ini.
Peristiwa 27 Juli 1996 adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri.
Kemudian, peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.
Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik) sebagai penggerak kerusuhan, dan pemerintah Orde Baru (Orba) kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara.
Di antaranya adalah mantan Ketua Umum PRD Budiman Sudjatmiko --yang kini bergabung ke PDI Perjuangan (PDIP)-- mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara.
Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebutkan setidaknya lima orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.
Boni Hargen menilai, ada dua alasan mengapa peringatan 27 Juli sangat sepi.
Pertama, peringatan tragedi 27 Juli dari awal dimainkan sebagai komoditas politik. "Makanya dulu begitu meriah dikenang sampai kira-kira tahun 2001, setelah Megawati dari PDIP menduduki jabatan presiden, tragedi itu perlahan-lahan terlupakan," katanya.
"Apalagi dilihat peristiwa tersebut tidak laku lagi dijual, karena tragedi itu (memang) hanya strategis dimainkan melawan kekuatan Orde Baru, tapi sekarang sudah tidak lagi," tambah Direktur Riset Parrhesia (Institut for Nation-State Building) tersebut.
Ditegaskannya bahwa yang paling dirugikan tentu saja keluarga korban. Mereka merasa tidak dihargai karena kematian sanak saudara mereka tidak berbeda dengan korban wabah penyakit sampar dalam sejarah.
"Padahal 27 Juli adalah harga politik amat mahal yang harus ditebus untuk sebuah perubahan penting dalam sejarah berdemokrasi di negeri ini," katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007