Menurut pakar dalam Kajian Wilayah Jepang tersebut, intensitas atas rasa takut akan kemungkinan terulangnya kekejaman Jepang di masa lampau sudah jauh berkurang.
"Intensitasnya sudah berkurang karena di sisi lain negara-negara di kawasan Asia Tenggara kan militernya juga sudah meningkat jauh dibandingkan dulu," kata Siti saat dihubungi Antara di Jakarta, Rabu.
Negara-negara yang dulu sempat dikuasai Jepang pada era tahun 1940-an kini telah memiliki kapabilitas militer yang besar.
Dia mencontohkan, misalnya saja Singapura yang kini telah menjadi salah satu negara kuat di kawasan, Filipina juga tidak memiliki kekhawatiran karena sama-sama memiliki hubungan pertahanan dengan Amerika Serikat seperti Jepang.
Sementara Indonesia pun juga memandang serupa karena memiliki hubungan diplomatik dan ekonomi yang sangat baik sejak tahun 1950-an.
"Kekhawatiran akan dominasi militer Jepang sudah berkurang, malah ASEAN mengajak Jepang sebagai rekanan dialog pada ASEAN+3 atau pembangunan kapasitas, termasuk kerja sama dalam bidang keamanan dengan ASEAN," katanya menerangkan.
Baru-baru ini, Jepang mulai menunjukan perubahan orientasi dalam kebijakan keamanan dan pertahanannya.
Muncul kabar bahwa pemerintah Jepang memulai rencana perubahan fungsi kapal perusak helikopter DDH-Izumo, dari yang semula sebagai kapal induk ringan pengangkut helikopter serang, menjadi kapal induk dengan kemampuan meluncurkan dan mendaratkan jet tempur.
Selain itu, Jepang juga telah memesan pesawat tempur siluman F-35B, varian F-35 yang memiliki kemampuan peluncuran-pendaratan di kapal induk.
Pemesanan tersebut berbeda dengan F-35A yang hanya dapat dioperasikan dari landasan konvensional di darat, yang sudah dipesan Jepang sejak tahun 2012.
Ada kemungkinan jet yang dipesan dengan jumlah lebih dari 40 unit itu akan ditempatkan pada Izumo.
Fokus pada kedua alutsista tersebut menunjukan fungsi Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF) yang tidak lagi hanya berpondasi pada upaya pertahanan di daratan mereka, namun juga mengejar proyeksi kekuatan ke luar wilayah.
Pewarta: Roy Rosa Bachtiar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018