Sana`a (ANTARA News) - Dua negara kawasan Teluk yang memiliki angka pernikahan antara pria pribumi dan gadis asing tertinggi adalah Uni Emirat Arab (UAE) dan Arab Saudi, terutama karena alasan biaya dan harta "goni-gini" yang murah.
Bila menikahi gadis pribumi harus memiliki "pundi-pundi" keuangan yang lumayan besar, karena biaya mas kawin yang rata-rata tinggi dan kebutuhan lainnya yang tergolong memberatkan kebanyakan pria setempat.
Berbagai upaya untuk mengurangi pernikahan dengan gadis asing di kedua negara tersebut masih belum banyak hasilnya. Di UAE misalnya dikenal dengan "sunduq zawaj" (dana pernikahan) untuk membantu
meringankan biaya bagi pria pribumi yang menikah dengan gadis pribumi.
Di Saudi juga terdapat sejumlah lembaga kebajikan untuk membantu pria setempat yang akan menikahi gadis pribumi. Juga digalakkan nikah massal dengan semboyan "seribu hari cukup sehari."
Pihak berwenang di kedua negara juga menyerukan pentingnya campur tangan para wali gadis untuk meringankan biaya mas kawin. Namun semua langkah itu, tidak sepenuhnya berhasil.
Buktinya jumlah pria yang menikah gadis asing masih tinggi. Di Arab Saudi misalnya, seperti laporan Kementerian Dalam Negeri Saudi belum lama ini, ijin yang diberikan secara resmi kepada pria Saudi yang menikahi gadis asing sebanyak 6.600 orang setahun.
Dengan demikian, ijin yang diberikan per hari sebanyak 25 orang.
"Ijin tersebut sesuai hasil penyeleksian tim khusus dan sesuai peraturan yang berlaku," kata laporan itu seperti dikutip harian Okaz, Saudi, Kamis (26/7).
Sebagian besar gadis asing yang dipersunting pria negeri kaya minyak itu adalah berasal dari Suriah.
Sebagian dari pria Saudi yang mempersunting gadis asing telah beristrikan wanita pribumi.
Karena kesulitan untuk mencari istri kedua dari gadis pribumi disamping biaya mas kawin yang tinggi ditambah dengan berbagai permintaan lainnya dari pihak keluarga istri, mendorong mereka mencari gadis asing sebagai istri kedua.
Angka pernikahan dengan gadis asing yang masih tinggi ini menimbulkan masalah sosial bagi negeri itu.
Diantaranya adalah angka perawan tua di kalangan gadis usia nikah yang terus membengkak.
Sesuai data sebelumnya yang dikeluarkan Kementerian Perencanaan Saudi, angka perawan tua saat ini mencapai sejuta orang. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa angka tersebut bisa membengkak dua kali lipat dalam lima tahun mendatang bila tidak ditangani dengan serius.
Sebagian keluarga yang khawatir anak-anak gadis mereka menjadi perawan tua, minta bantuan para mak comblang yang dikenal dengan sebutan "khatibah" dari kalangan warga setempat.
Namun sayangnya, sebagian mak comblang memanfaatkannya untuk kepentingan materi semata, sehingga banyak pernikahan yang melewati perantara ini berakhir dengan perceraian.
"Sebagian dari pernikahan lewat mak comblang berakhir dengan perceraian saat pernikahan berlangsung sekitar sebulan. Karena pihak mak comblang memberikan data palsu," lapor harian Al-Madinah, Saudi Jum`at (27/7).
"Padahal saya sudah siap menjadi istri kedua karena sesuai keterangan mak comblang, istri pertama suami saya sakit-sakitan. Ternyata keterangan mak comblang bohong," kata S.F. seorang gadis yang terpaksa dicerai suaminya karena ketahuan istri pertama.
Bukan para gadis saja yang merasa "dikibulin" mak comblang, tapi juga di kalangan para pemuda yang minta bantuannya.
"Ketika semua persiapan sudah rampung untuk bertemu gadis yang saya sukai, ternyata saat bertemu adalah gadis lain," kata Ahmed Al-Jabiri.
Sebagian pemuda yang sudah memberikan uang jasa ternyata tidak bisa mengembalikannya setelah gadis yang diinginkan ternyata menolak lamaran mak comblang.
"Saya telah membayar uang jasa sebanyak 5 ribu riyal
(Rp12 juta), karena mak comblang menginformasikan ada gadis yang siap menikah dengan saya dengan kondisi saya. Ternyata tidak benar dan uang jasa tersebut melayang," kata Hassan Ali.
Karena itu sejumlah pemerhati sosial dan akademisi setempat minta kepada pihak berwenang untuk menertibkan para "khatibah" itu agar tidak memanfaatkan hajat orang untuk kepentingan pribadi.
"Memang mak comblang tetap diperlukan, namun sebagian
dari mereka memberikan keterangan palsu kepada kedua calon mempelai demi mendapatkan keuntungan materi," kata Dr. Mohamed Al-Najimi.
Menurut ketua jurusan peradaban Universitas King Fahd itu, pihak berwenang perlu menertibkan mereka karena apabila dibiarkan merajalela akan menimbulkan masalah sosial.
Hal senada diungkapkan pakar sosial setempat, Ny. Almas Mohamed "keberadaan mereka sejak lama cukup membantu kedua calon mempelai terutama bagi kalangan gadis yang agak lambat menikah."
Namun demikian, katanya, perlu penertiban. Ia mengusulkan agar semua khatibah mendapat ijin resmi dari Kementerian Urusan Sosial setelah lulus seleksi dan mendapat pengawasan dalam kegiatannya. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007