Washington (ANTARA News) - Para analis politik di AS menganggap Presiden terpilih AS Barack Obama memiliki sedikit peluang untuk menyelesaikan krisis Gaza dan mendesak mengeluarkan sikap lebih tegas kepada Israel ketimbang para pendahulunya.

Saat dia resmi menjadi Presiden AS dua minggu lalu, Barack Obama hanya akan mempunyai sedikit ruang untuk bernafas dalam menyelesaikan warisan masalah gawat peninggalan pendahulunya George W. Bush seputar perang Israel di Gaza, kata para analis seperti dikutip AFP, Kamis.

Setelah menolak mengomentari perang 12 hari (di Gaza) atas pertimbangan konstitusi bahwa hanya ada satu presiden yang menangani persoalan negara, Obama berjanji segera melibatkan diri dalam diplomasi Timur Tengah setelah resmi menjabat Presiden AS pada 20 Januari 2009.

Pernyataannya ini menyiratkan betapa cepatnya Obama menceburkan diri dalam konflik yang oleh para analis disebut akan setidaknya mementalkannya karena tidak memiliki banyak ruang untuk bermanuver yang dia inginkan lewat penunjukkan sejumlah orang di pos-pos kunci kabinet dan mengembangkan sebuah strategi baru.

Konflik Gaza bahkan mungkin akan berkonsekuensi lebih buruk pada presiden baru yang ingin memutus pertalian dengan masa kepemimpinan Bush, kata Aaron David Miller, mantan penasehat untuk dua menteri luar negeri baik semasa kekuasaan Republik maupun Demokrat.

"Ingat, dia mestinya mengubah irama dan nada musik (kebijakan luar negeri AS) demi membuat Amerika dihormati Arab dan dunia Muslim," kata Miller yang kini menjadi pakar kebijakan publik pada Woodrow Wilson Institute.

"Tapi, coba tebak? Orang ini malah memasuki kantor (Gedung Putih) dengan melawan latar belakang keprihatinan dan kemarahan luar biasa terhadap Israel yang dampaknya mencapai Amerika Serikat," kata Miller.

"Itu masalah besar karena bisa menjauhkannya dari peluang menciptakan karakter dan kesan pribadinya sendiri. Dia mewarisi kebijakan-kebijakan pemerintahan Bush, suka atau tidak suka," katanya.

Miller juga menyatakan, sekalipun Israel segera mengakhiri serangan gencarnya terhadap gerakan Hamas di Jalur Gaza, akan butuh waktu berminggu-minggu untuk menata kondisi keamanan, kemanusiaan dan ekonomi pascakonflik (Gaza).

"Ini bayi (persoalan) Obama atau bahkan Hillary," katanya menunjuk orang yang ditunjuk Obama menjadi Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton.

Miller memperkirakan Hamas akan tumbuh lebih kuat secara politik akibat konflik ini dan akan lebih sulit berunding dengan Israel.

"Amerika Serikat akan dianggap menjadi lemah. Kita tidak bisa dan tidak akan mampu berunding dengan Hamas, kita tidak bisa atau tidak akan mampu mencegah Israel dan kita tidak mempunyai kapasitas untuk mendudukan keduanya untuk berunding," katanya.

"Ini mengerikan bagi presiden mendatang bahwa kita lemah. Lupakan kita bias. Semua orang tahu kita bias," tambah Miller.

"Pemerintahan Obama mempunyai segunung masalah gawat di tangannya, pokoknya apapun yang terjadi, masalah gawat."

Miller berasumsi, kecuali Obama mau belajar tegas pada Israel dan tidak menolak memberi sinyal seperti itu --sebagaimana Bush dan pendahulunya Bill Clinton lakukan-- Washington akan tetap menjadi "mediator yang tidak efektif."

Sementara itu Nathan Brown, analis pada Carnegie Endowment for International Peace yang menyesalkan sikap Bush meninggali Obama dengan "masalah berat," mengatakan konflik Gaza memaksa Obama untuk bertindak lebih cepat dari yang dia kira.

"Tadinya saya mengira (kubu Obama) berharap memiliki waktu berbulan-bulan sebagai ruang bernafas untuk membentuk kabinetnya dan menentukan strateginya," kata Brown.

Dia semula berharap Obama akan menjelaskan kebijakannya dalam pidato yang akan disampaikannya di sebuah ibukota negara Muslim besar dan itu membuatnya mengawali pemerintahan dengan bahasa yang berbeda, yaitu lebih berdasarkan perundingan ketimbang manajemen krisis dan perang."

Namun presiden Afro Amerika pertama AS ini masih memiliki beberapa opsi untuk bertindak secara berbeda dibandingkan Bush dalam menata situasi pascakonflik.

Obama memiliki sedikit pilihan kecuali memulai inisiatif baru karena proses damai Annapolis yang diluncurkan pada November 2007 tidak berdampak apa-apa, tambahnya.

Scott Lasensky, analis pada United States Institute of Peace, sepakat dengan pendapat Brown dan Miller bahwa Obama harus lebih tegas pada Israel.

"Saya kira mereka (pemerintahan Bush) menemukan posisi yang sangat nyaman dengan mendukung sepenuhnya Israel dan tidak melibatkan diri atau tidak mencoba upaya gencatan senjata," kata Lasensky.

"Tindakan ini merugikan kepentingan Amerika dan membahayakan penduduk Timur Tengah." (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009