Jenewa (ANTARA News) - Mantan menteri luar negeri Amerika Serikat Bill Perry yang pernah bernegosiasi dengan Korea Utara sekitar dua dekade silam melihat tiga tanda bahwa KTT Presiden Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un bisa berhasil.

Hal pertama yang dilihat adalah apakah kondisi kedua pemimpin secara pribadi. "Saya bisa membayangkan situasi di mana kedua pemimpin menyingkirkan kemarahan karena hal ini perlu diakhiri dengan catatan yang ramah," kata dia seperti dikutip Reuters.

"Yang kedua diperlukan kesepakatan terhadap beberapa pernyataan yang prinsipil dalam menuju Semenanjung Korea yang bebas nuklir, dan yang ketiga perlu memulai proses itu, yakni langkah nyata ke arah itu, menyepakati sejumlah langkah pertama," sambung Perry.

Trump mengklaim bahwa dalam satu menit pertama saja dia akan tahu apakah Kim bisa dipercaya atau tidak.

"Saya harap dia benar," kata Perry yang berunding dengan Korea Utara semasa pemerintahan Bill Clinton pada 1990-an.

Perundingan era Clinton menghasilkan kesepakatan yang membuat Kim Jong-il, ayahanda Kim Jong Un, sepakat menyerahkan program nuklirnya dengan imbalan pasokan energi dari luar negeri.

Baca juga: Siapa yang pegang tombol nuklir selama Kim Jong Un di Singapura?

Kesepakatan itu ambruk semasa pemerintahan George W. Bush yang menyimpulkan Pyongyang curang. Bush berusaha membuat pakta baru, namun tak berhasil, dan sejak itu Korea Utara terang-terangan mengembangkan senjata nuklir.

"Saya kira bukan ide yang buruk untuk mengawali dengan pertama konsep besar yang kemudian diturunkan ke hal-hal mendetail. Jika KTT nanti menghasilkan kesepakatan memulai proses yang mengantarkan kepada denuklirisasi menyeluruh, maka itu adalah pencapaian besar," kata Perry kepada kantor berita Reuters.

Masalahnya detail itu sendiri terlalu rumit baik untuk Trump maupun Kim, kata Perry.

Idealnya pertemuan mereka ditindaklanjuti dengan pertemuan para pejabat kedua negara dalam aspek-aspek teknis yang pastinya memerlukan waktu bertahun-tahun untuk merampungkannya.

Perry juga menegaskan para pemimpin Korea Utara tidak gila. Mereka hanya bertindak seperti orang gila karena dilandasi oleh hasrat mempertahankan kekuasaan.

Baca juga: Kim Jong Un jalan malam untuk selfie dan susuri Singapura

"Mereka despotis, mereka bengis, mereka kejam terhadap rakyatnya sendiri, tetapi mereka tidak gila," kata Perry.

Ketika Perry berunding dengan Korea Utara, mereka terang-terangan meminta manfaat ekonomi untuk perekonomian mereka yang rapuh. Namun yang paling menarik perhatian adalah normalisasi hubungan diplomatik dengan AS dan pengakhiran Perang Korea.

Trump akan sangat bijak untuk menunjukkan kesediaan menawarkan hal  ke arah itu, kata Perry, namun konsesi-konsesi harus diberikan secara bertahap, mulai dari langkah timbal balik dalam membangun kehadiran diplomatik AS yang bekerja sama dalam kedutaan besar negara lain.

"Kita bisa merancangnya dan jika ini tidak berhasil, jika kita tidak mendapatkan manfaat dari hal itu, kita bisa menariknya kembali. Jika itu berhasil maka kita bisa bekerja lalu bisa mengekskalasi yang akhirnya mengantarkan kepada sebuah kedutaan besar di Pyongyang."

Dia menambahkan, Korea Utara harus diajak untuk masuk kembali Perjanjian Non Proliferasi Nuklir yang ditinggalkan negeri itu pada 1994, dan mesti tergerak untuk bergabung dengan pakta larangan uji coba senjata nuklir atau Comprehensive Test Ban Treaty, sekalipun AS sendiri bukan anggotanya, demikian Reuters.

Baca juga: Antre berjam-jam di tepi jalan demi Donald Trump dan Kim Jong Un


 

Pewarta: ANTARA
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2018