Jakarta (ANTARA News) - Perwira Menengah (Pamen) Polri Kompol Ahrie Sonta meraih gelar promosi pertama pada Program Pascasarjana Doktoral Ilmu Kepolisian.
"Alhamdulillah, saya baru selesai selama tiga tahun ini sekolah mendapat beasiswa dari Polri, sekolah untuk S3. Saya ambil tentang filsafat budaya etika. Jadi, disertasinya Model Penguatan Budaya Etika di Kepolisian Tingkat Resor: Suatu Pendekatan Habitus Pierre Bourdieu," kata Kompol Ahrie melalui siaran pers, Minggu.
Lulusan Akpol 2002 ini menjelaskan penelitian disertasinya meneliti tentang pembangunan formula reformasi budaya (kultural) dalam organisasi kepolisian, khususnya di kepolisian tingkat resor sebagai unit kepolisian dasar yang berhadapan langsung dengan pelayanan masyarakat.
Menurut dia, perubahan budaya di Polri merupakan suatu keniscayaan sebagai bagian dari reformasi kepolisian pascapemisahan kewenangan dengan militer (ABRI pada masa Orde Baru) sebagaimana tertuang dalam Inpres Nomor 2 tahun 1999.
"Reformasi Kepolisian itu sendiri secara lengkapnya mencakup reformasi struktural, instrumental, dan kultural. Sejauh ini, reformasi struktural dan instrumental dinilai telah berhasil," ujarnya.
Namun, Ahrie menilai upaya reformasi kultural masih belum berhasil diterapkan oleh Kepolisian Indonesia. Menurut dia, kondisi ini berbeda dengan reformasi birokrasi kepolisian yang telah berhasil dilakukan di negara-negara lain.
"Adapun negara-negara yang telah berhasil mengatasi masalah kultural ini misalnya Singapura, Hongkong dan kepolisian di New South Wales Australia," kata dia.
Ia mengatakan dalam penelitiannya terdapat tiga model yang ditemukan di beberapa kepolisian tingkat resor yang dapat meningkatkan budaya etika, yakni model penguatan etika publik, penguatan struktur pengawasan dan penguatan sosialisasi nilai.
"Saya membangun model penguatan budaya etika kepolisian dengan pendekatan habitus, kemudian membedah kultural dengan mempertemukan agen (individu) dan struktur. Banyak penelitian sebelumnya justru mempertentangkan agen dan struktur," katanya.
Menurut dia, teori habitus ini berusaha melampaui pertentangan agen-struktur, kebebasan-determinisme, individu-masyarakat, dan seterusnya termasuk dalam konteks organisasi kepolisian.
"Melalui pembacaan konsep habitus ini pula dapat terlihat jalan tengah untuk menyatukan pemisahan struktur dan agen dalam menjelaskan tindakan manusia, atau disebut pendekatan strukturalisme-genetik," katanya.
Di samping itu, Ahrie mengatakan solusi yang didapatkan dari penelitian ini adalah program penghargaan yang bisa diselenggarakan oleh pemerintah, pihak swasta atau perusahaan, atau komunitas masyarakat, yakni sebagai simbol rasa terima kasih kepada lembaga kepolisian yang telah memberikan peranan yang penting di masyarakat.
"Hal ini membangun hubungan civil society antara kepolisian dan masyarakat secara lebih baik sehingga ada kontrol positif masyarakat terhadap potensi tindakan negatif yang dilakukan oleh oknum polisi, katanya.
Sementara cendekiawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hermawan Sulistyo mengatakan lahirnya seorang doktor ilmu kepolisian ini seharusnya menjadi tonggak sejarah baru bagi institusi kepolisian.
"Produk doktor pertama ilmu kepolisian ini bisa menjadi role model polisi masa depan. Pengetahuan dan integritas akademik yang dipadukan dengan kemampuan teknis operasional lapangan akan membuat Dr Ahrie Sonta menjadi model polisi masa depan," kata Hermawan. (Tz.A064/
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018