Jakarta (ANTARA News) - Majelis Ulama Indonesia melalui ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VI di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, telah menyepakati sejumlah komponen penghasilan yang wajib dizakati.
"Komponen penghasilan yang dikenakan zakat meliputi setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lainnya yang diperoleh secara halal," kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam melalu keterangan pers yang diterima Antara di Jakarta, Minggu malam.
Penetapan tersebut juga berlaku pada penghasilan yang diperoleh secara rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya.
Dengan demikian, obyek zakat bagi pejabat dan aparatur negara termasuk namun tidak terbatas pada gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji pokok, tunjangan kinerja, dan penghasilan bulanan lainnya yang bersifat tetap.
"Penghasilan yang wajib dizakati dalam zakat penghasilan adalah penghasilan bersih, sebagaimana yang diatur dalam fatwa MUI nomor tiga tahun 2003," tutur Niam.
Sedangkan untuk penghasilan bersih sebagaimana yang dimaksud di atas ialah penghasilan setelah dikeluarkan kebutuhan pokok atau "al-haajah al-ashliyah".
Niam memaparkan, kebutuhan tersebut antara lain kebutuhan diri seperti sandang, pangan, papan, kebutuhan orang yang jadi tanggungannya seperti kesehatan dan pendidikan.
Kebutuhan pokok pun diatur dengan berdasarkan pada standar Kebutuhan Hidup Minimum (KHM).
Sedangkan kebutuhan pokok sebagaimana yang tercantum pada petikan di atas ialah Penghasilan Tidak Kena Zakat (PTKZ).
"Pemerintah sudah menetapkan besaran kebutuhan pokok sebagaimana dimaksud di atas, yang jadi dasar dalam menetapkan apakah seseorang itu wajib zakat atau tidak," pungkas Niam menerangkan.
Pewarta: Roy Rosa Bachtiar
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018